Bolak-balik berkas perkara dari kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) antara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Kejaksaan Agung telah melanggar hak konstitusional korban maupun keluarganya."
Jakarta (ANTARA News) - Siapa yang rela bila nasibnya atau bahkan nasib orang yang dicintainya terombang-ambing dalam ketidakpastian?

Hal ini pula yang dirasakan oleh Payan Siahaan dan Yati Uryati.

Baik Payan dan Yati merasa bahwa kasus pelanggaran hak asasi manusia terkait "Tragedi 1998" yang menimpa keluarga mereka seperti sengaja diabaikan, sehingga tidak ada kepastian hukum untuk mereka.

Payan Siahaan adalah ayah dari Ucok Munandar Siahaan yang "dihilangkan" secara paksa pada kurun 1997-1998. Sementara Yati Ruyati adalah ibunda dari Eten Karyana, korban tragedi Mei 1998.

Keduanya kemudian mengajukan permohonan uji materi Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) di Mahkamah Konstitusi.

"Kasus-kasus yang menimpa keluarga korban (Tragedi Mei 98) telah dinyatakan pelanggaran HAM berat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)," ujar kuasa hukum para pemohon, Chrisbiantoro, dalam sidang pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta.

Komnas HAM memang sudah menyatakan bahwa kasus-kasus dalam Tragedi Mei 98 sebagai pelanggaran HAM berat dan harus segera diselesaikan.

Chrisbiantoro menyebutkan bahwa hingga saat ini, 17 tahun kemudian, penyelesaian kasus ini belum juga menemukan titik terang. Semua berkas yang sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung bertahun-tahun lalu belum juga ditindaklanjuti.

"Padahal berkas perkaranya sudah disampaikan kepada Kejaksaan Agung selaku penyidik dalam perkara pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diamanatkan UU Pengadilan HAM, itu sudah bertahun-tahun lalu," ujar Chrisbiantoro.

Dalam keterangannya di depan Hakim Konstitusi, Chrisbiantoro menyebutkan telah terjadi pelanggaran atas ketentuan Undang Undang Dasar 1945 akibat adanya "bolak balik" berkas antara Kejaksaan Agung yang menyangkut tujuh berkas pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yaitu kasus Trisakti Semanggi, Tragedi Mei 1998, Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998, Wasior-Wamena, Trisakti Semanggi, Talang Sari Lampung 1989, Peristiwa 1965-1966, kemudian Penembakan Misterius.

Kasus ini kemudian dianggap telah ditelantarkan sehingga para pemohon merasa hak konstitusionalnya telah dilanggar, khususnya terkait dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) serta Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tentang kepastian hukum untuk setiap Warga Negara Indonesia.

"Bola pingpong"
Dalam persidangan berikutnya para pemohon menghadirkan pakar hukum dari Universitas Airlangga Herlambang P. Wiratraman selaku ahli.

Dalam keterangannya Herlambang mengatakan hak konstitusional keluarga dan korban pelanggaran hak asasi manusia pada tahun 1998 hingga 1999 telah terlanggar terkait dengan penanganan berkas perkara kasus tersebut.

"Bolak-balik berkas perkara dari kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) antara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Kejaksaan Agung telah melanggar hak konstitusional korban maupun keluarganya," kata Herlambang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (1/9).

Herlambang juga menegaskan baik korban maupun keluarga korban dari setiap kasus berhak untuk mendapatkan kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan dari diskriminasi sebagaimana dijamin dalam konstitusi.

Namun "bolak-balik" berkas antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung justru mengakibatkan hak-hak konstitusional korban dan keluarga korban kemudian menjadi terlanggar.

"Berkas-berkas tersebut selalu dikembalikan ke Komnas HAM dengan alasan belum lengkap dan penyelidik dari Komnas HAM belum disumpah," kata Herlambang.

Herlambang kemudian berpendapat bahwa salah satu penyebab bolak-balik dari tujuh berkas tersebut adalah adanya perbedaan pendapat antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung terkait dengan Pasal 20 Ayat (3) dan Penjelasan Pasal 20 Ayat (3) UU Pengadilan HAM.

"Kasus penyelesaian pelanggaran HAM berat ini ibarat bola dipingpong secara terus-menerus," kata Herlambang.

Tidak tepat
Sebelumnya pihak Pemerintah yang diwakili oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM Wicipto Setiadi, menyatakan para pemohon, yang dalam hal ini adalah Payan Siahaan dan Yati Uryati, tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum.

"Para pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum, sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi," ujar Wicipto di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta.

Dalam uraiannya, Wicipto menyebutkan bahwa Pemerintah menilai permasalahan yang dialami oleh para pemohon tidak tepat diajukan sebagai permohonan pengujian UU karena permohonan tersebut merupakan pengaduan konstitusional (constitutional complaint), bukan pengujiaan undang-undang (judicial review).

"Bila Kejaksaan Agung berpendapat hasil penyelidikan masih kurang lengkap, Kejaksaan Agung segera mengembalikan berkas penyelidikan ke Komnas HAM," ujar Wicipto.

Berkas itu disertai petunjuk untuk dapat dilengkapi dalam kurun waktu 30 hari sejak tanggal dikembalikannya berkas tersebut.

Melalui Wicipto kemudian Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 20 Ayat (3) UU Pengadilan HAM dan penjelasannya memberikan kepastian hukum bagi korban dan keluarga untuk mendapatkan kepastian dalam menemukan pelaku pelanggar HAM yang berat.

Sementara itu, pada waktu dan kesempatan yang berbeda, pakar Hukum Universitas Indonesia Eva Achjani Zulfa mengatakan, pada gugatan yang diajukan oleh para pemohon berkaitan dengan hukum acara pidana yang diatur secara khusus untuk penanganan pelanggaran HAM berat.

Kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam pelanggaran HAM berat dikatakan Eva telah tertuang dalam Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 21 UU Pengadilan HAM.

"Penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komnas HAM yang dapat membentuk tim ad hoc. Sementara kewenangan untuk melakukan penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimiliki oleh Jaksa Agung, namun tidak termasuk kewenangan untuk menerima laporan dan pengaduan," jelas Eva.

Eva kemudian menambahkan bahwa hal tersebut memiliki ketentuan yang berbeda dalam KUHAP yang menyatakan bahwa kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam penerimaan laporan adalah sama.

Lembaga penyelidikan dan penyidikan disebutkan Eva merupakan satu model integrasi proses peradilan pidana. Namun dalam praktiknya hubungan kerja dari penyelidik dan penyidik di dalam UU Pengadilan HAM menjadi pertanyaan karena tidak setiap rekomendasi dari penyelidik diterima oleh penyidik dan dilakukan proses selanjutnya.

"Oleh karena itu, akibat dari pandangan yang berbeda mengenai sistem ini tidak dapat berproses sebagaimana yang diharapkan oleh undang-undang," pungkas Eva.

Oleh Maria Rosari
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015