Kudus (ANTARA News) - Melihat prestasi tunggal putra Indonesia yang masih meredup, membuat sang legenda Liem Swie King terpanggil untuk "turun gunung".

Sejak gantung raket pada tahun 1988, pemilik jumping smash andalan yang dijuluki King Smash itu memilih berbisnis perhotelan dan pijat kesehatan. Sang legenda pun menjelma menjadi pengusaha hotel yang sukses. Swie King sempat beberapa kali muncul, namun bukan terjun di dunia bulu tangkis melainkan membintangi sebuah iklan. Kisahnya pun sempat dituangkan dalam film berjudul "King".

"Melihat prestasi tunggal putra belum muncul, saya sangat terpanggil untuk melakukan sesuatu, untuk menggairahkan kembali bulu tangkis Indonesia," kata Swie King yang berasal dari Kudus, Jawa Tengah itu.

Swie King tidak sendiri. Ia bersama para legenda bulu tangkis lainnya terjun langsung mendatangi beberapa kota di Tanah Air untuk mencari bakat-bakat muda yang potensial menjadi bintang yang bersinar kelak.

Beberapa dari mereka ada yang masih menggeluti bulu tangkis namun juga tidak sedikit yang sama seperti Swie King, baru "turun gunung". Mereka adalah Christian Hadinata, Lius Pongoh, Hariyanto Arbi, Hadibowo, Hadiyanto, Kartono, Sigit Budiarto, Denny Kartono, Bobby Ertanto, Simbarsono Sutanto, Johan Wahyudi, Hastomo Arbi, dan Fung Permadi.

Keempat belas legenda itu kembali ke lapangan sebagai tim pencari bakat dalam audisi umum Djarum beasiswa bulu tangkis. Mereka menjemput bola dengan menyambangi sembilan kota di Indonesia.

"Kami ingin berpartisipasi untuk bulu tangkis Indonesia agar kembali berjaya lagi, ditantang Djarum untuk membantu," ujar Swie King.


Butuh figur

Tidak hanya tunggal putra, sektor putri pun tidak ada taringnya. Legenda bulu tangkis Christian Hadinata mengatakan Indonesia tengah mengalami krisis figur pemain di kedua sektor tersebut.

"Kita harus punya figur atlet yang punya prestasi bagus yang menjadi andalan," ujar Christian.

Ia memberi contoh, pada sektor ganda putra saat ini Hendra Setiawan dan Mohammad Ahsan menjadi panutan bagi pasangan ganda putra lainnya. Begitu juga pada nomor ganda campuran, Indonesia memiliki Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir yang menjadi figur. Sedangkan pada nomor ganda putri, Greysia Polii dan Nitya Krishinda Maheswari baru-baru ini sudah menunjukkan penampilan yang baik.

"Mereka bisa menjadi figur yang memberi motivasi serta membimbing adik-adiknya," kata Christian.

Menurut Christian, setiap sektor harus mempunyai sosok yang menjadi panutan.

"Dari lima sektor harus punya sosok pemimpin untuk kelompoknya sehingga adik-adiknya termotivasi. Seorang figur senior yang sudah hebat, juara, dan menunjukkan latihan keras serta disiplin," tuturnya.

Menurut Christian, Hendra Setiawan adalah salah satu contoh figur yang menginspirasi bagi juniornya. Meskipun sudah mendapatkan berbagai macam gelar bergengsi seperti juara Olimpiade, tiga kali Kejuaraan Dunia, dan dua kali Asian Games, Hendra masih berlatih dengan disiplin.

"Sebelum Kejuaraan Dunia, Hendra Setiawan berlatih khusus sendiri dengan mesin shuttlecock. Bayangkan seorang Hendra Setiawan yang sudah juara macam-macam, masih berlatih seperti itu. Tidak hanya yang muda, yang lainnya harus meniru," jelas Christian.

"Untuk tunggal putra dan putri, siapa yang jadi figur sentral di sana. Pemain tidak hanya bermain untuk diri sendiri tetapi juga membina generasi berikutnya karena mereka tidak akan main terus menerus," tuturnya.

Ia menambahkan, "Dulu kita punya Susi Susanti dan Mia Audina. Lalu sektor putra, ada Rudy Hartono, Liem Swie King, Haryanto Arbi, Alan Budikusuma, dan Taufik Hidayat. Tunggal putra dan putri saya lihat sampai saat ini tidak ada," tambahnya.

Pemain bulu tangkis tunggal putra Dionysius Hayom Rumbaka mengakui bahwa ia membutuhkan sosok figur senior yang menjadi panutannya.

"Waktu saya masuk Pelatnas PBSI, kondisinya saat itu Mas Sony (Dwi Kuncoro) dan Simon (Santoso) sedang sakit. Dengan pengalaman belum banyak, saya belum siap menjadi yang utama, tetap saja saya butuh senior," kata Hayom yang saat ini di peringkat 20 dunia itu.

Selain itu, lanjutnya, kompetisi tunggal putra kurang kompetitif.

"Tetap butuh teman sparring, kalau di luar banyak, kompetitif, tetapi di sini orangnya itu-itu saja. Meskipun tetap, kembali ke individu masing-masing," ujarnya.

Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2015