Pemerintah harus mengambil langkah untuk mereduksi dampak ekonomi eksternal yang berpengaruh pada perekonomian nasional. Salah satunya dapat dicapai dengan merevisi program yang boros devisa dan berdampak ganda,"
Yogyakarta (ANTARA News) - Perekonomian Indonesia belum masuk fase krisis meskipun nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melemah, kata ekonom Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Edy Suandi Hamid.

"Namun, kalau pemerintah terlalu percaya diri dan hanya menyalahkan faktor eksternal, bukan tidak mungkin krisis akan terjadi," katanya pada diskusi ekonomi terkini, di Yogyakarta, Jumat.

Oleh karena itu, kata dia, pemerintah harus mengambil langkah untuk mereduksi dampak eksternal dan melakukan koordinasi kebijakan yang lebih baik di dalam negeri untuk mengoptimalkan semua potensi yang ada.

Misalnya, bagaimana secara detil membuka jalan bagi semua kementerian dan daerah agar bisa menyerap anggaran secara optimal dan membelanjakannya sesuai dengan perencanaan.

"Pemerintah harus mengambil langkah untuk mereduksi dampak ekonomi eksternal yang berpengaruh pada perekonomian nasional. Salah satunya dapat dicapai dengan merevisi program yang boros devisa dan berdampak ganda," katanya.

Ia mengatakan hal itu lebih tepat daripada menyalahkan kebijakan ekonomi negara lain atau memaksa swasta untuk melakukan sesuatu yang tidak dalam kendali pemerintah.

Selain itu, kata dia, situasi sekarang seharusnya dijadikan momentum untuk mempercepat realisasi anggaran belanja infrastruktur. Pembangunan infrastruktur akan menstimulasi perekonomian yang lesu saat ini.

"Dalam jangka panjang hal itu bisa menggenjot pembangunan ekonomi dengan cepat. Namun, pembangunan infrastruktur harus diarahkan ke wilayah yang potensinya masih banyak sehingga bisa mengoptimalkan sumber daya daerah di luar Jawa," katanya.

Jadi, kata Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) itu, pembangunan infrastruktur jangan berbasis pada kepadatan penduduk tetapi pada potensi ekonomi sehingga tidak hanya berpusat di Pulau Jawa.

Pakar ekonomi UII Sahabudin Sidiq mengatakan tren pelemahan nilai tukar rupiah salah satunya disebabkan oleh tingginya permintaan mata uang dolar AS di dalam negeri saat ini.

Menurut dia, banyak perusahaan swasta nasional yang dalam jangka pendek harus membayar utang dari luar negeri sehingga mempengaruhi permintaan dolar AS.

Di sisi lain, tingginya ketergantungan industri dalam negeri terhadap bahan baku impor juga menjadi masalah tersendiri.

"Industri dalam negeri kita masih bergantung pada sumber daya yang tidak berasal dari negeri sendiri sehingga mereka sangat terhantam ketika terjadi penurunan nilai tukar rupiah," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, pemerintah juga perlu memikirkan solusi jangka panjang untuk membangun industri bersifat "resources based" material yang dapat diperoleh dari pasokan dalam negeri.

Pewarta: Bambang Sutopo Hadi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015