BPJS sebenarnya memacu dokter mengeluarkan segala kemampuan terbaiknya
Jakarta (ANTARA News) - Boleh saja alergi pada BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan, tetapi sembrono jika menyimpulkannya membuat rumah sakit menurunkan kualitas layanan atau merusakkan keseimbangan bisnis rumah sakit.

"Jika manajemennya kreatif, BPJS malah menghidupkan bisnis rumah sakit," kata Prof. DR. Dr. Rochmad Romdoni, Sp PD. Sp JP (K), Direktur Utama Rumah Sakit Islam Jemursari, Surabaya, kepada ANTARA News pertengahan Agustus lalu.

RSI Jemursari, bersama RSI Surabaya, adalah cerita sukses BPJS Kesehatan di rumah sakit swasta.

"Ketika yang lain ribut dengan BPJS, bahkan ada yang bilang defisit ikut BPJS, maka RSI Surabaya bisa menjadi contoh yang baik," kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Dr. dr. Fachmi Idris M.Kes seperti dikutip antarajatim.com.

RSI Jemursari sendiri bisa mengklaim tagihan sampai Rp7 miliar setiap bulan dari BPJS. Ini karena pasien BPJS terus bertambah, apalagi seperti disebut Pasal 14 UU BPJS, semua warga diwajibkan mengikuti BPJS.

Pada Januari 2014, rumah sakit itu menerima 2.000-an pasien ber-BPJS Kesehatan. Sebelas bulan kemudian, angka itu melonjak menjadi 7.000-an pasien.

Di rumah sakit itu, pasien-pasien bermigrasi ke sistem BPJS Kesehatan. Rumah sakit pun untung, kendati tak sebesar rumah sakit yang murni berorientasi bisnis.

"Lagi pula bisnis rumah sakit bukan murni bisnis karena pada rumah sakit ada misi kemanusiaan," kata Romdoni.

Tapi itu tak menjadi halangan bagi RSI Jemursari untuk menyandang predikat sukses bersama BPJS Kesehatan.

"Kenapa kami sukses? Karena kami melakukan efisiensi," kata Rektor Universitas Nahdlatul Ulama di Surabaya itu.

Sistem pembayaran rumah sakit lazim dihitung dalam basis harian. Dan karena dituntut untung, rumah sakit dipaksa "berkreasi" menarik keuntungan esktra dari misalnya apotek, laboratorium dan ruang rawat inap.

"Oleh karena itu, orang yang mengeluh sakit liver misalnya, akan diperiksa pula jantungnya," kata Romdoni yang juga spesialis jantung dan pembuluh darah ini.

Akibatnya, uang pasien tidak hanya keluar untuk membayar penyembuhan penyakitnya.

Clinical pathway


Rumah sakit umum menawarkan sistem paket pelayanan kesehatan.  Misalnya, satu penyakit bisa sembuh maksimal lima hari, sehingga jika pasien sembuh kurang dari lima hari, bayarnya tetap untuk lima hari.

"Nah dengan BPJS hal seperti itu tak terjadi. Ada istilah clinical pathway, yaitu memeriksa dan mengobati sesuai penyakit yang diderita pasien," kata arsitek di balik sukses RS Haji, Surabaya, ini.

Romdoni mengakali situasi itu dengan mendorong para dokter bekerja keras untuk bersegera menyembuhkan pasien.

Guru besar Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga itu melanjutkan, "Dokter-dokter saya dipaksa memaksimalkan waktu dan keilmuannya, tak boleh lagi menuruti kemauan pasien."

Beruntung, dokter-dokter di rumah sakitnya bersedia menerima panduan manajemen untuk efisien.

"BPJS sebenarnya memacu dokter mengeluarkan segala kemampuan terbaiknya sehingga dana BJPS sebesar Rp160.000 per pasien misalnya, cukup untuk membayar dokter, laboratorium, obat, dan setor ke rumah sakit," kata pria kelahiran Surabaya 12 Juli 1949 itu.

Menurut dia, andai dokternya pintar dan kreatif, maka pengobatan pasien menjadi lebih cepat dan tepat sehingga alokasi tenaga, waktu, dan kerja alat penunjang kesehatan menjadi sangat efisien.

Efisiensi inilah yang membuat RSI Jemursari menangguk untung tanpa terlihat komersil. Dalam matra lain, profesionalitas layanan kesehatannya pun meningkat.

Tetapi itu tidak membuat RSI Jemursari tergoda membeda-bedakan pasien. "Jika non BPJS ikut BPJS ya tidak apa-apa. Lagi pula, problemnya kan sama," kata Romdoni.

Sedikit tapi banyak

Insentif besar yang diperoleh RSI Jemursari dari meningkatnya profesionalisme ini berbuah pada jatuh hatinya warga Surabaya ke rumah sakit ini.

Romdoni bahkan yakin, RSI Jemursari bakal menjadi pilihan utama masyarakat karena dia percaya profesionalisme dan efisiensi pada rumah sakitnya menjadi faktor pembeda dari rumah sakit-rumah sakit lainnya.

"Kalau Anda mengelola rumah sakit dengan baik, selalu ada ruang untuk menarik keuntungan. BPJS kan grosiran, untungnya sedikit, tetapi banyak,"kata Romdoni  menekankan luasnya cakupan layanan asuransi publik ini sehingga kreativitas bisnis sama luasnya.

Faktanya, RSI Jemursari bisa untung sampai 10 persen.

"Memang masih di bawah rumah sakit yang murni bisnis yang biasanya untung 20 persen," kata Romdoni.

Tetapi tingkat keuntungan sebesar itu pun telah menggoda rumah sakit-rumah sakit swasta lain untuk mengalami sendiri cerita sukses RSI Jemursari itu dengan menerima BPJS Kesehatan.

"Bahkan itu termasuk rumah sakit swasta terkemuka seperti RS Siloam," klaim Romdoni.

Jadi, jangan keget jika akhirnya BPJS Kesehatan merambah ke mana-mana.

"Sekarang ini saja 70 persen pasien menggunakan BJPS. Pasien saya sendiri 70 persen menggunakan BPJS, 15 persen biaya sendiri dan 15 persen mamakai asuransi swasta," aku Romdoni.

Dia yakin penyelesaian klaim kesehatan lewat BPJS akan semakin atraktif dari hari ke hari.

"Keuntungan rumah sakit swasta tanpa BJPS Kesehatan memang bisa sampai 20 persen, tetapi mereka harus berjuang keras memperebutkan 30 persen orang kaya calon pasien mereka," tegas Romdoni.

Ambil atau amblas

Persaingan memperebutkan 30 persen ini demikian kerasnya sampai rumah sakit-rumah sakit yang tidak total menggaet pasien-pasien kaum berada ini pun terpental dari persaingan.

"Lima tahun lagi, saya yakin rumah sakit yang setengah-setengah, yang tidak terlalu istimewa, akan tamat jika mereka tidak menerima BJPS," kata Romdoni.

Menurut dia, orang-orang kaya pasti menuntut kesempurnaan dari rumah sakit, mulai dari layanan dokter sampai alat penunjang seperti kondisi ruang rawat inap.

"Bisnis rumah sakit itu tergantung kepada dokter, perawat dan alat penunjang," kata Romdoni.

Jika ketiganya tidak selaras dengan selera pasien, maka rumah sakit itu bakal ditinggalkan pasien.

"Maka itu saya imbau rumah sakit yang tak terlalu istimewa, ambil BJPS saja, karena kalau tidak, akan amblas," kata Romdoni.

Agar tidak amblas, tak ada salahnya rumah sakit-rumah sakit swasta seperti disebut Romdoni mau berkaca pada cerita sukses BJPS Kesehatan di RSI Jemursari.

Apalagi manajemen BPJS Kesehatan sendiri berani mematok angka 168 juta orang akan menggunakan sistem asuransi publik ini sampai akhir 2015. Jumlah itu 26 persen lebih besar dibandingkan catatan 2014 sekitar 133,4 juta jiwa.

Andai migrasi besar rumah sakit swasta dalam menerima BPJS Kesehatan terus terjadi, maka semakin luaslah peluang orang sakit untuk diobati tanpa khawatir tak bisa membayar di luar kemampuannya karena BPJS Kesehatan akan semakin mendekati masyarakat oleh kian banyaknya rumah sakit yang bersedia menerima BPJS Kesehatan.


Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015