Nairobi (ANTARA News) - Murid-murid Kenya bosan, jenuh dan lelah berada di dalam rumah saat para guru melanjutkan aksi mogok di negara Afrika Timur tersebut.

Lebih dari 12 juta anak sekolah telah tinggal di rumah tiga pekan berturut-turut saat para guru mendesak pemerintah menaikkan gaji 50-60 persen sebagaimana diperintahkan oleh pengadilan.

Pergolakan telah terjadi di jalan, di ruang rapat, dan yang paling penting di ruang pengadilan. Tapi kedua pihak masih jauh dari kesepakatan mengenai cara mengakhiri kebuntuan.

Dan saat mereka berjuang, anak-anak Kenya yang menganggur berjuang untuk menemukan sesuatu yang pantas dikerjakan.

Kebanyakan dari mereka memutuskan bekerja untuk mengisi kekosongan, dan berharap pemogokan akan segera berakhir sehingga mereka bisa melanjutkan pelajaran.

Di ibu kota Kenya, Nairobi, pekerjaan yang dilakoni anak-anak itu meliputi berjualan kacang di jalan, mengemis, membantu orangtua melakukan pekerjaan rumah tangga dan berjualan di toko.

Anak-anak yang beruntung bermain dari fajar hingga senja atau menjelajahi ruang pertunjukan video untuk membunuh kejenuhan.

Di pedesaan, murid-murid yang sebagian berusia tujuh tahun membantu orangtua mereka membawa makanan ke meja dengan bekerja di tambang, mengelola toko kecil dan memanen jagung serta tanaman lain yang sedang berbuah.

Sebagian orang tua, terutama di Kenya Barat, tempat panen jagung sedang berlangsung, telah menemukan tenaga kerja murah, gara-gara pemogokan itu.

"Saya punya empat anak, dua di sekolah menengah dan dua di sekolah dasar. Segera setelah pemogokan dimulai, saya memberitahu mereka secara jelas bahwa saya tidak akan mempekerjakan orang untuk membantu saya memanen jagung dari lahan saya seluas tujuh are. Ini adalah pekerjaan yang saat ini mereka lakukan untuk membantu saya," kata Samuel Aluvale, seorang petani jagung di Soy, Trans Nzoia, melalui telepon.

Aluvale biasanya akan mempekerjakan paling sedikit tiga orang untuk membantu dia melakukan pekerjaan itu dengan biaya 2,9 dolar AS setiap hari. Tapi pemogokan tersebut membuat dia menghemat biaya.

"Kalau saja saya tidak memberitahu mereka agar membantu saya di lahan, mereka barangkali cuma duduk berleha-leha di dalam rumah," katanya.

"Kerja membantu mereka menghabiskan waktu dengan bijak dan bermanfaat di rumah sementara kami berharap pemerintah menyelesaikan masalah ini secepatnya," katanya.

Jauh dari Kenya Barat di Nairobi, pemogokan telah mendorong banyak anak menjual bermacam barang dan mengemis di jalan.

Biasanya, saat kegiatan belajar-mengajar berlangsung anak-anak dari daerah kumuh di Ibu Kota berkumpul di pusat kota pada malam hari setelah pulang sekolah untuk menjual barang dagangan orangtua mereka dan mengemis.

Tapi pemogokan membuat mereka memiliki banyak waktu untuk melakukan pekerjaan. Mereka datang ke pusat kota sekitar pukul 10.00 dan tetap berada di sana sampai malam.

John kecil, siswa kelas empat di sekolah umum di kawasan kumuh Korogocho di bagian timur Nairobi, termasuk di antara mereka yang bekerja di jalanan.

"Saya sekarang datang ke pusat kota pukul 11.00 untuk menjual kacang tanah," kata anak berusia 10 tahun itu. Dia tampak menikmati pekerjaannya saat menghampiri pembeli di sepanjang Agakhan Walk pada Selasa petang.

Cynthia Wanjiku, pekerja sosial di sebuah Organisasi Berbasis Komunitas di Korogocho, mengatakan pemogokan guru telah membuat para orangtua punya alasan untuk membuat anak-anak mereka bekerja.

"Selama liburan sekolah, tidak semua anak bekerja sebab sebagian pergi ke sekolah untuk belajar sendiri tapi dengan pemogokan, mereka tak memiliki alasan. Orangtua mereka mendorong mereka untuk bekerja," katanya seperti dilansir kantor berita Xinhua.

Pengadilan Tinggi pada Selasa menyatakan akan menyampaikan keputusan mengenai apakah akan menghentikan pemogokan pada 25 September atau tidak, yang berarti murid Kenya dipastikan masih tak bersekolah selama beberapa hari lagi. (Uu.C003)

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015