Mekkah (ANTARA News) - Wajahnya begitu bersinar, gerakannya lincah, dan suaranya keras menandakan semangat yang menggelora, seakan bakal bertemu pujian hati.

Dia-lah Sugiatun, salah satu jamaah kloter 02 embarkasi Surabaya (SUB02) yang tengah menanti keberangkatan ke Arafah.

"Saya sudah siap sejak pukul 09.30 Waktu Arab Saudi (WAS), katanya, kami akan berangkat pukul 11.00 WAS," ujar pensiunan guru itu.

Dengan manja ia minta ditebak berapa usianya, ketika kami menanyakan umur nenek lima cucu itu, ketika dipuji wajahnya segar/fresh menjelang wukuf di Arafah.

"Kalau bisa menebak umur saya, akan saya kasih ciuman," kata Sugiatun sambil memeluk pundak penulis.

Kebetulan kami datang berdua dengan wartawan pria dari Elshinta, Eko Suwantono. Kontan saja, produser eksekutif radio itu, tersipu-sipu malu.

Mungkin dalam hatinya, "Waah bahaya niih, kalau dicium nenek-nenek." Ia pun memilih diam, tidak menebak angka.

Beruntung penulis mendapat petunjuk dari Sugiatun. Ia mengatakan usianya ditambah tiga dari sejak pensiun guru. "Enam Tiga," tebak saya.

Langsung, perempuan ramah dengan wajah bulat itu, mendaratkan ciuman di kedua pipi penulis.

"Nah... ini hadiahnya, muah-muaach," ujarnya sambil tersenyum-senyum, membuat jamaah lain yang ada di sekitar lobi pemondokan 625, Hotel Rehal Mina, tertawa-tawa.

Sugiatun nampaknya memang dikenal di antara mereka sebagai ibu yang ceria dan penuh semangat.

Waktu awal kami datang ke pemondokan tersebut untuk melihat persiapan jamaah sebelum diberangkatkan ke Arafah, sebenarnya kami menyapa dan bertanya dengan jamaah perempuan yang duduk paling dekat dengan pintu lobi.

Namun, baru dua pertanyaan, tentang apa saja persiapan menjelang ke Arafah, Sugiatun dari belakang langsung lari ke depan untuk menjawabnya.

"Bawa tiker plastik, biar kalo hujan ga basah," ujarnya bersemangat. Selain itu, ia juga mengaku membawa perlengkapan ibadah lainnya termasuk sajadah, tasbih, dan Al-Quran, serta baju ganti dan peralatan mandi.

Tak lupa ibu empat orang anak itu, juga membawa bekal nasi, tempe, balado kentang, dan abon. "Lauk saya bawa dari Tanah Air," kata Sugiatun yang harus menunggu enam tahun untuk datang ke Tanah Suci.

Ia juga bercerita tentang persiapan spiritualnya untuk melaksanakan puncak ibadah haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina, termasuk persiapan hati untuk bermuhasabah saat wukuf di Arafah.

Sugiatun juga mengaku selalu ingat dan melaksanakan saran dokter di kloternya agar selama berada di Tanah Suci tidak banyak keluar di tengah terik matahari yang bisa memicu suhu di bumi hingga mencapai di atas 40 derajat celcius.

Selain itu untu menjaga kebugarannya, ia banyak banyak minum, makan kurma, dan tidur yang cukup. Itu juga rahasia kebugaran dan kelincahannya.

"Saya senang loh kalo ditanya-tanya. Ayo mau nanya apalagi," tantangnya sambil mengacungkan jari manisnya ke arah kami dengan senyum dan ekspresi wajah yang lucunya, membuat kami meskipun wartawan kehabisan kata-kata, bahkan untuk bertanya.

"Matur Nuwun Bu," ujar penulis memecah suasana kehabisan kata.

"Mudah-mudahan kita bertemu lagi ya Bu," kata penulis lagi sambil memeluk Sugiatun dan mencium kedua pipi bulatnya.

Sama halnya dengan Sugiatun, jamaah perempuan lainnya, Endang Puji dari Tuban, yang menginap di Pemondokan 625, Syisyah, juga bersemangat menjelang berangkat ke Arafah.

"Ini sudah siap dari sekitar pukul 08.30 WAS, karena infonya akan berangkat pukul 11.00 WAS," ujar jamaah dari kloter 36 embarkasi Surabaya itu (SUB 036).

Endang mengaku senang akhirnya akan bisa melaksanakan puncak ibadah haji dengan kondisi sehat, mengingat banyak jamaah yang juga harus berbaring sakit baik di Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) Mekkah maupun rumah-rumah sakit milik pemerintah Arab Saudi.

Oleh karena itu, ia memilih selama wukuf benar-benar ingin berdiam diri di tenda untuk bermuhasabah dan berdoa, serta membaca Al-Quran.

"Saya berharap bisa menjadi haji yang mabrur," ujarnya dengan nada dalam penuh doa yang diamini oleh Supatmi, temannya dari Tuban, yang duduk di sampingnya.

Kedua sahabat itu mengaku telah menyiapkan baju untuk ihram sebanyak dua helai, kemudian sajadah, tikar, serta baju seragam dari KBIH (Kelompok Bimbingan Haji Indonesia) yang diikuti mereka.

Sementara salah seorang jamaah pria, Ahman Taufik yang berasal dari Tuban juga mengaku senang bisa melaksanakan proses puncak ibadah haji bersama kedua orang tuanya.

"Saya bawa bapak dan ibu berhaji, jadi tidak terlalu banyak bawa perbekalan. Saya pasrah dan berdoa saja selama di wukuf nanti," ujar Ahmad, sebelum dipanggil untuk miqot dan niat haji berhaji oleh kepala rombongannya.

Oleh Risbiani Fardaniah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015