New York (ANTARA News) - Harga minyak Amerika Serikat (AS) turun pada Selasa (Rabu pagi WIB) sementara Brent, patokan internasional, naik lagi untuk kedua hari saat para pedagang terus menimbang kelebihan pasokan global dan pertumbuhan permintaan yang lemah.

Patokan AS, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI), untuk pengiriman Oktober merosot menjadi berakhir di 45,83 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange, turun 85 sen atau 1,8 persen dari penutupan Senin.

Sedang minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman November naik tipis 16 sen atau 0,3 persen menjadi menetap pada 49,08 dolar AS di perdagangan London.

"Kami melihat banyak volatilitas di pasar," kata Andy Lipow dari Lipow Oil Associates.

Saham-saham Wall Street yang lebih tinggi pada Senin mengikuti pasar minyak New York, jatuh pada Selasa "akibat dari kekhawatiran tentang Tiongkok dan pertumbuhan ekonomi Eropa" kata Lipow.

Tidak ada hal spesifik yang menggerakkan pasar pada Selasa, tambah dia.

"Minyak mentah akan tetap berada di bawah tekanan, terutama karena Iran dan IAEA terus membuat langkah menuju inspeksi, yang akan menyebabkan peningkatan ekspor Iran dan tambahan jumlah minyak di pasar datang pada kuartal pertama 2016."

Tanda-tanda segar dari pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat di Asia menambah kelesuan dalam gambaran pertumbuhan permintaan.

Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) menyatakan pertumbuhan lemah di negara haus energi Tiongkok tahun ini diperkirakan menyebabkan pelambatan di seluruh Asia.

ADB memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi kawasan tersebut dan menyatakan ekspansi 2015 di Tiongkok, konsumen energi utama dunia, akan menjadi yang paling lambat sejak 1990, pada tingkat 6,8 persen.

"Pola zigzag kasar beberapa pekan terakhir berlanjut," analis Commerzbank dalam sebuah catatan kepada klien.

"Namun, sekalipun para spekulan berfokus pada penurunan produksi AS saat ini, penting untuk tidak melupakan bahwa stok minyak mentah AS saat ini masih 28 persen, atau sedikit di bawah 100 juta barel, lebih tinggi dari biasanya."

"Dengan kata lain, itu akan memakan waktu bagi mereka untuk kembali ke tingkat normal, meskipun terjadi penurunan produksi di AS," katanya seperti dilansir kantor berita AFP. (Uu.A026)

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015