Jakarta (ANTARA News) - Membuka laman Adnan Buyung Nasution & Partners, dinyatakan bahwa firma hukum ini didirikan pada 1969 dan menjadi firma hukum yang dihormati. 




Dengan berkantor di Plaza Alstrom, Jalan TB Simatupang, Jakarta Pusat, dari situlah pengacara senior Indonesia, Prof Dr (Iur) Adnan Bahrum Nasution, memimpin kantor forma hukum yang dia dirikan itu. 




Secara fisik, ada satu hal yang sangat khas dari si “Abang” yang ini (dia sangat senang dipanggil “abang” dan membahasakan dirinya dengan “abang”, walau lawan bicaranya sangat jauh selisih usianya. Kekhasan dirinya itu adalah rambut lurusnya yang putih keperakan, dan alis yang hitam. Kontras, hitam dan putih, seperti benar dan salah di mata hukum. 




Terlahir di Jakarta, pada 20 Juli 1934, dia juga menghadap Pencipta-nya di kota itu, pada hari ini, Rabu, 23 September 2015. Secara kenegaraan, dia menjadi salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum, pada 2007-2009. 




Bang Buyung termasuk tokoh yang menonjol perannya dalam proses dan pergerakan reformasi pada 1998 berujung akhir kekuasaan Presiden Soeharto dengan Orde Baru-nya. Di banyak kampus, terkhusus di Jakarta (Universitas Indonesia di Salemba dan Universitas Trisakti di Grogol), dia sering hadir memompa semangat pergerakan mahasiswa saat itu. 




Bang Ali (Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta 1966-1977), juga hadir di panggung-panggung orasi, dalam kapasitasnya sebagai tokoh Petisi 50 dan tokoh Jakarta yang dihormati. Gubernur yang satu ini memiliki “kedudukan” khas dalam karir Bang Buyung dan implikasi penegakan hukum nasional. 




Adalah Bang Buyung yang mendirikan Yayasan Bantuan Hukum Indonesia, di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, pada 1970. Saat itu, Bang Ali memimpin DKI Jakarta dan mengerti benar bahwa Jakarta memerlukan dimensi hukum dan kemanusiaan yang baik dan benar. Dia juga memotori Yayasan Bantuan Hukum Indonesia yang didirikan Bang Buyung itu. 




Yayasan Bantuan Hukum Indonesia itulah yang kemudian menjadi “benteng” hukum kalangan umum, terkhusus yang merasa tidak mampu mencari pendampingan hukum secara memadai. Maklum, membayar pengacara profesional —bahkan sampai kinipun— sangat mahal bagi kebanyakan orang. Model lembaga bantuan hukum yang Bang Buyung dirikan dan besarkan ini lalu menjadi batu pijakan yang dikembangkan di mana-mana. 




Masa kecilnya juga bukan masa yang diisi dengan banyak bermain karena Indonesia masih dalam penjajahan Belanda dan Jepang. Bersama adiknya, Samsi Nasution, dia harus berjualan barang loak di Pasar Kranggan, Yogyakarta, pada circa 1945 (www.tokohindonesia.com). 




Dia memiliki ayah yang pejuang kemerdekaan dan juga jurnalis di Kantor Berita ANTARA, Rachmat Nasution, yang pada masa-masa itu berperang melawan tentara Belanda. Ayahnya —yang dikatakan sangat berprinsip dan berkarakter itu— menjadi model dan tokoh penting dalam hidupnya. 




Jadilan si Abang ini seorang yang membenci penjajahan dan ketidakadilan. Sering dia berdemonstrasi menentang pendirian Sekolah NICA di Yogyakarta, padahal dia masih usia SMP. 




Pengalaman saat kecil itu turut membentuk pribadi dan sikap si Abang ini, hingga dia terdaftar sebagai mahasiswa di jurusan Teknik Sipil ITB walau tidak sampai tamat; malah melanjutkan kuliahnya di Fakultas Ekonomi UGM, dan akhirnya Universitas Indonesia. 




Si Abang pernah menjadi pegawai negeri, yaitu jaksa, yang ternyata dia anggap tidak pas dengan keperluan semangatnya. Dia malah menjadi aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia dan diinterogasi atasannya. 




Banyak lagi kisah tentang si Abang, sampai dia bergiat di lembaga bantuan hukumnya itu dengan berbagai kasus besar yang dia tangani. Hukum tidak bisa selalu dilihat hitam atau putih, ada sentuhan-sentuhan yang kerap menentukan hakekat keadilan di muka hukum yang diimbuhi.




Salah satunya adalah dari Bang Buyung, yang telah berpulang selamanya ke rahmatullah setelah lama dirawat di RS Pondok Indah akibat gagal ginjal.




Selamat jalan, Bang Buyung… 

Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015