Jakarta (ANTARA News) - Kedatangan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti ke Sabang, Aceh, Jumat, adalah keselarasan dari pernyataan "Negara tidak boleh kalah" yang telah diucapkannya beberapa kali terkait dengan pencurian ikan.

Di Sabang, tepatnya di Pulau Weh, Menteri Susi meninjau kapal MV Silver Sea 2 yang ditangkap oleh kapal TNI AL, KRI Teuku Umar di perairan Sabang 83 mil dari Pulau Sumatra, 12 Agustus 2015.

Kapal berbendera negara Thailand tersebut ditangkap karena diduga kuat menampung ikan hasil curian dari perairan Indonesia.

Saat ditangkap kapal berbobot 2.385 grosston (GT) dengan anak buah kapal 19 orang membawa ikan campuran seberat 1.930 ton yang disimpan di ruang pendingin.

Menteri Susi menegaskan, pihaknya sudah memantau gerak-gerik MV Silver Sea 2 sejak dua bulan terakhir sebelum ditangkap. Bahkan, pihaknya juga mendapatkan foto satelit maupun foto pemantauan udara aktivitas kapal tersebut.

Namun, upaya dari Menteri Kelautan dan Perikanan itu mendapat tantangan dari pemilik MV Silver Sea 2 yang melalui kuasa hukumnya, Hendri Rivai, sudah mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Sabang, karena penangkapan kapal kliennya tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

"Kami menggugat praperadilan KKP karena kapal klien kami ditangkap tidak berdasarkan hukum. Gugatan praperadilan sudah kami masukkan ke Pengadilan Negeri Sabang," kata Hendri Rivai.

Selain dari pihak Silver Sea 2, Susi juga mengatakan, pihaknya menerima serangan balik berupa gugatan dari pemilik Kapal MV Hai Fa yang divonis Rp200 juta terkait kasus pencurian ikan.

"Bagaimana ini di negara yang berdaulat, kami malah dituntut karena menegakkan hukum," kata Susi Pudjiastuti di Jakarta, Kamis (17/9).

Sebagaimana diketahui, nakhoda kapal MV Hai Fa telah didenda sebesar Rp200 juta oleh vonis Pengadilan Perikanan Ambon pada Maret 2015.

Menteri Susi mengungkapkan, Hai Fa telah mengajukan gugatan perdata kepada Menteri Kelautan dan Perikanan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

KKP, ujar dia, telah menyampaikan bukti tertulis kepada majelis pemeriksa perkara di PN Jakpus, serta sedang menyiapkan saksi dan ahli untuk diajukan pada persidangan selanjutnya.

"Sidang dilaksanakan setiap hari Selasa," kata Susi Pudjiastuti.

Sebelumnya, pihak Interpol juga telah merilis "purple notice" terhadap Hai Fa. Konsekuensi "purple notice", jelas Susi, adalah menggerakkan penegak hukum atau masyarakat sipil internasional di sekitar 190 negara untuk mengumpulkan informasi terkait kapal Hai Fa yang dapat ditindaklanjuti kepada penegakan hukum.

Posisi terakhir Hai Fa, ungkap Susi, adalah berada di perairan Hong Kong sehingga Interpol juga telah mengirimkan surat kepada biro sentral nasional (NCB) Hong Kong untuk memantau dan memberikan informasi aktivitas Hai Fa.

"Sambil menyusun bukti-bukti baru, kami akan mengajukan purple notice menjadi red notice," katanya.

Hal tersebut, lanjut Susi, karena bila sudah mendapatkan "red notice" maka kapal MV Hai Fa tersebut sudah harus ditangkap.

Sedangkan sejumlah tindak pidana perikanan yang akan diajukan terhadap pengelola kapal Silver Sea 2, papar Susi, adalah mengangkut ikan ke luar wilayah Indonesia tanpa dilengkapi sertifikat kesehatan ikan, melakukan alih muatan tidak sah di tengah laut, serta mematikan VMS (sistem pengawasan kapal) selama berlayar di perairan Indonesia.

"Gugatan praperadilan tidak akan menyurutkan semangat dan kerja keras Indonesia dalam memberantas ilegal fishing sebagai kejahatan transnasional," kata Susi.

Sebelum menangkap Silver Sea asal Thailand, KKP melalui kapal pengawas perikanan Hiu Macan Tutul juga berhasil menangkap kapal perikanan asing berbendera Vietnam yang diduga telah menangkap 45 ton ikan secara ilegal.

"Ditangkap oleh Kapal Pengawas (KP) Perikanan Hiu Macan Tutul 002 saat melakukan kegiatan penangkapan ikan ilegal dengan muatan sebanyak 45 ton," kata Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP Asep Burhanudin dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (15/9).

Asep memaparkan, kapal berbendera Vietnam dengan nomor KM. BV 9980 TS dan berbobot 85 gross tonnage (GT) itu ditangkap di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI), sekitar Natuna, Kepulauan Riau, tanggal 12 September 2015 sekitar pukul 08.05 WIB.

Ia juga menuturkan, kapal tersebut tertangkap tangan saat sedang melakukan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) tanpa dilengkapi dokumen-dokumen perizinan dari Pemerintah RI.

Selain itu, lanjutnya, kapal tersebut juga ditemukan menggunakan alat tangkap yang dilarang dan merusak sumber daya kelautan dan perikanan, yaitu "pair trawl".

Kapal berbendera Vietnam itu untuk sementara diduga melanggar Pasal 93 ayat (2) jo Pasal 27 (2) UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU RI No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan.

Sedangkan ancaman pidana penjara yang bisa dijatuhkan hakim paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp20 miliar.

Dalam penangkapan tersebut diamankan barang bukti antara lain berupa satu unit kapal KM. BV 9980 TS, satu unit alat komunikasi radioa SSB, 1 (satu) unit alat navigasi GPS, satu unit kompas basah, dan 45.000 kg ikan campuran.

Selanjutnya, agar dapat diproses hukum lebih lanjut oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan, barang bukti beserta enam ABK WNA Vietnam dikawal ke Satuan Kerja PSDKP Natuna.

Asep menambahkan bahwa selama tahun 2015, Direktorat Jenderal PSDKP telah melakukan proses hukum terhadap 103 kapal perikanan pelaku "illegal fishing".

Jumlah tersebut terdiri atas 55 kapal asing dan 48 kapal Indonesia. Dari sejumlah 55 kapal asing tersebut, sebanyak 36 kapal Vietnam, 8 kapal Filipina, 6 kapal Malaysia, dan 5 kapal Thailand.


Langkah hukum

Selain menghadapi gugatan praperadilan, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mempersiapkan sejumlah langkah hukum terhadap PME, korporasi yang berpusat di Tiongkok, yang diduga terlibat dalam aktivitas pencurian ikan di kawasan perairan Indonesia.

"Kami bekerja sama dengan Todung Mulya Lubis dalam mempersiapkan upaya hukum terhadap PME," kata Susi Pudjiastuti dalam konferensi pers di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Kamis (17/9).

Dia memaparkan PME Ltd merupakan perusahaan perikanan yang didirikan di Cayman Island dan berkantor pusat di Tiongkok, serta sahamnya diperdagangkan di bursa Nasdaq, Amerika Serikat.

Menteri Kelautan dan Perikanan mengungkapkan, PME memiliki hubungan kepemilikan, hubungan transaksi, dan hubungan manajerial dengan empat perusahan di Indonesia yang tergolong dalam perusahaan yang melakukan pelanggaran berat.

Susi menegaskan, KKP melakukan upaya hukum terhadap PME guna menghentikan distribusi ikan yang ditangkap secara ilegal.

Selain itu, ujar dia, KKP juga ingin menghentikan keuntungan perusahaan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan ilegal di kawasan perairan RI.

KKP, lanjutnya, juga ingin memastikan agar pelaku pencurian ikan tidak mendapatkan dana publik melalui bursa saham yang mereka ikuti.

Susi Pudjiastuti juga meminta aparat hukum menerapkan beragam undang-undang untuk menjerat pelaku pencurian ikan sebagai upaya mengatasi kejahatan tersebut di perairan Indonesia.

"Keterbatasan UU Perikanan perlu ditutupi dengan UU lain," kata Susi dan menambahkan, beragam UU lainnya itu antara lain adalah UU Pelayaran, UU Pemberantasan Korupsi, UU Tenaga Kerja, dan UU Kepabeanan.

Pendekatan dari beragam UU tersebut, ujar dia, adalah untuk mengoptimalkan penegakan hukum tidak hanya pencurian ikan tetapi tindak pidana lainnya yang terkait.

Selain itu, lanjutnya, hal tersebut juga penting untuk menjerat korporasi yang menjadi dalang, serta memperkecil kemungkinan pelaku kejahatan lepas dari jeratan hukum.

Hal tersebut, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, dinilai juga bakal dapt menimbulkan efek jera kepada para pelaku tindak pidana pencurian ikan.

Menteri Susi juga mengungkapkan, berbagai upaya menyeluruh untuk penanganan kasus pencurian ikan antara lain penegakan hukum administrasi yaitu berupa pencabutan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) 15 perusahaan.

Penegakan hukum administrasi lainnya yang telah dilakukan KKP, lanjutnya, juga mencakup pencabutan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) terhadap 208 kapal penangkap ikan, dan pencabutan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) terhadap 26 kapal pengangkut ikan.

Sedangkan untuk penegakan hukum pidana, Menteri Susi mengemukakan pihaknya telah melakukan hal itu terhadap 18 perusahaan perikanan besar.

Dengan berbagai langkah tersebut, Menteri Susi juga menegaskan bahwa "Negara tidak boleh kalah dengan pencuri ikan".

Oleh Muhammad Razi Rahman
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015