Jakarta (ANTARA News) - Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mencecar pemohon uji materi kewenangan Polri soal menerbitkan Surat Izin Mengemudi (SIM) terkait perbedaan tanda tangan pada permohonan awal dengan berkas yang sudah diperbaiki.

"Tanda tangan kuasa hukumnya, saya melihat seperti ditandatangani satu orang dalam perbaikan permohonan karena berbeda sekali dengan permohonan awal," kata Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati saat sidang lanjutan di Gedung MK Jakarta Pusat, Kamis.

Maria menilai tanda tangan kuasa hukum pemohon berbeda dengan tanda tangan yang terlampir pada berkas permohonan yang sudah direvisi.

Terkait hal itu, Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta kuasa hukum pemohon mengklarifikasi pertanyaan Hakim Konstitusi Maria.

Menurut Arief jika tanda tangan itu terbukti palsu maka permohonan uji materi tersebut dianggap tidak serius sehingga berpotensi digugurkan.

Arief menegaskan pihak pemohon tidak boleh "melecehkan" persidangan di MK dengan cara memalsukan tanda tangan.

Arief juga meminta Kartu Tanda Penduduka (KTP) kepada kuasa hukum pemohon dan memerintahkan Polri memeriksa tanda tangan itu.

Ketua Majelis Hakim MK itu menegaskan pemalsuan tanda tangan termasuk kategori tindak pidana sehingga Polri didorong untuk menangani dugaan pelanggaran hukum itu.

"Ini untuk menjaga kewibawaan mahkamah. Kalau ada permohonan dengan tandatangan palsu itu melecehkan mahkamah. Para hakim sepakat harus kita jaga bersama kewibawaan mahkamah. Karena itu saya minta pada Polri meskipun sebagai pihak terkait yang berkenaan dengan permohonan ini, saya mohon Polri tetap independen," ujar Arief.

Salah satu pemohon Erwin Natosmal Oemar mengakui proses permohonan yang diajukan terburu-buru namun membantah mengabaikan soal tanda tangan tersebut.

"Terbukti dari adanya pemberitahuan mengenai perubahan pasal hukum jadi tanda tangan orangnya langsung, hal itu bisa dikonfirmasi kepada masing-masing pihak," tutur Erwin.

Wakil Kepala Korps Lalu Lintas (Waka Korlantas) Polri Brigadir Jenderal Polisi Sam Budigusdian sebagai pihak terkait menyatakan tindakan pemalsuan tanda tangan merupakan penghinaan terhadap sistem peradilan MK.

"Pengadilan yang sangat mulia dilecehkan. Ini sungguh memalukan dan melecehkan," tutur Sam.

Sam mendukung upaya majelis hakim yang meminta kepolisian turun tangan mengusut tanda tangan palsu tersebut dengan pembanding KTP setiap kuasa hukum pemohon.

Sebelumnya, seorang warga negara bernama Alissa Q Munawaroh Rahman dan Hari Kurniawan mempermasalahkan kewenangan kepolisian menerbitkan SIM, STNK dan BPKB dengan mengajukan permohonan uji materi ke MK.

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Malang Corruption Watch, dan Pemuda Muhammadiyah turut mengajukan uji materi UU tentang lalu lintas tersebut ke MK.

Beberapa butir pasal yang diujimaterikan yakni Pasal 15 ayat (2) huruf b dan huruf c UU Polri serta Pasal 64 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 67 ayat (3), Pasal 68 ayat (6), Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 72 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 75, Pasal 85 ayat (5), Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 88 UU LLAJ.

"Para pemohon menganggap kebijakan Polri menerbitkan SIM, STNK dan BPKB bertentangan dengan Pasal 30 ayat 4 UUD 1945 yang menyatakan polisi sebagai alat keamanan negara yang bertugas melindungi dan mengayomi masyarakat".

Pemohon juga menilai kepolisian tidak berwenang mengurus administrasi penerbitan SIM, STNK dan BPKB namun hanya sebatas mengamankan dan menertibkan masyarakat.

(T.T014/I007)

Pewarta: Taufik Ridwan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015