Palembang (ANTARA News) - Ahli tata kelola air dan hidrologi Universitas Sriwijaya, Momon Imanudin, mengatakan, sekat kanal di lahan gambut harus dilengkapi pintu air agar berfungsi sebagai penjaga kelembaban tanah dan pencegah kebakaran.

"Keberadaan sekat kanal tidak ada gunanya jika tidak dilengkapi sarana dan prasarana pintu air, karena di saat musim kemarau, air akan terbuang ke sungai akibat tidak ada sarana yang mencegah air itu mengalir," kata dia. 

"Inilah yang menyebabkan lahan gambut rawan terbakar," kata Imanudin, dalam diskusi dengan sejumlah wartawan digagas Sinarmas Grup, di Palembang, Jumat.

Gambut --yang hampir semuanya terdiri dari bahan organik dan tidak mengandung fraksi liat dan mineral sebagaimana halnya tanah kebanyakan-- mutlak harus selalu terendam air. 

Jika dia sempat kering sama sekali, partikel-partikelnya akan diselimuti pseudowax alias "lilin palsu" yang mencegah partikel kering gambut itu menyerap kembali air walau lahan itu dibanjiri lagi oleh air. 

Pseudowax inilah yang memiliki kandungan energi sebagai "bahan bakar", dan mudah terbakar walau hanya karena kenaikan temperatur lingkungan, bukan oleh percikan api. 

Ia mengatakan, saat musim hujan, areal yang memiliki manajemen pintu air akan dibuka untuk menampung air sebanyak-banyaknya masuk ke perkebunan dan mengisi kanal-kanal sehingga muka air terjaga di angka 30-40 cm.

Kemudian, saat musim kemarau, pintu air ditutup supaya air tetap tersimpan di kanal sehingga lahan gambut tetap basah karena muka air terjaga.

"Seperti diketahui, lahan gambut itu berkedalaman antara 1-15 meter sehingga apabila terbakar maka api akan menjalar di bawah tanah dan sangat sulit dipadamkan. Jadi kuncinya itu pada manajemen air, jika bisa mengelola di saat kemarau maka tidak akan terbakar," kata dia.

Untuk itu, perlu suatu sistem pengawasan dari pemerintah yang memastikan bahwa suatu areal perkebunan memiliki sekat kanal dan pintu air.

Bahkan harus ada pengawasan, apakah kanal tersebut dipelihara oleh pemilik perkebunan atau tidak, dalam arti kondisi tidak kering dan dangkal.

"Disinyalir ini terjadi pada perkebunan-perkebunan kecil yang sedikit modalnya, tapi untuk perkebunan dikelola perusahaan besar, bisa dipastikan sudah bagus pengelolaannya ada sekat primer dan sekat sekunder dan pintu airnya," kata ahli yang tak berapa lama lagi bergelar profesor ini.

Ia menjelaskan, hingga kini penggunaan kanal dan pintu air ini menjadi satu-satunya cara untuk menjaga lahan gambut yang sudah dibuka tutupannya (kubah) tetap basah.

Sementara untuk kawasan gambut yang belum dibuka, menurut Momon, sebaiknya mulai dihentikan karena telah terjadi kerusakan sistem air tanah akibat masifnya pengalihfungsian lahan.

Untuk menguranginya, pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya ini mengatakan pemerintah dan instansi terkait harus fokus pada pemulihan terlebih dahulu.

"Butuh usaha radikal dari pemerintah yakni bagaimana yang sudah dibuka ini dipulihkan. Sedangkan yang masih perawan jangan diganggu terutama untuk lahan gambut berkedalaman di atas 3 meter. Jika pun terpaksa, itu untuk kepentingan nasional," kata dia.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menginstruksikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membangun kanal di Kalimantan Tengah. Pembangunan kanal ini dilakukan untuk mengatasi kebakaran lahan dan hutan yang semakin meluas.

Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015