Bondowoso (ANTARA News) -  Praka Muchlis dan kawan-kawannya pada 17 September mengakhiri tugas sebagai Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Pamtas) di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.

Para anggota Batalyon Infanteri (Yonif) 514/Raider Kostrad yang bermarkas di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur tersebut, siang itu sudah berada di atas truk militer untuk menuju pelabuhan.

Ketika truk-truk militer hendak meninggalkan markas satgas, tiba-tiba puluhan anak sekolah dasar menghadang truk itu. Mereka tidak hendak berbuat kriminal.

Mereka justru tidak rela prajurit yang biasa mereka panggil "abang guru" di bawah pimpinan Letkol Inf. Muhammad Nas itu meninggalkan Belu.

"Abang guru, jangan tinggalkan kami," begitu kira-kira pesan "penghadangan" dari anak-anak Desa Lamaksenulu itu.

Luluh juga hati para prajurit terlatih itu. Mereka kemudian turun dari atas truk. Anak-anak SD itu kemudian memeluk prajurit guru mereka seolah tidak pernah hendak melepasnya.

"Mereka memeluk kami sangat erat. Awalnya saya tidak mau menangis, tetapi merasakan pelukan mereka yang sangat tulus, saya luluh juga," kata Muchlis yang saat itu didampingi Lettu Inf. Farid dan Letkol Muhammad Nas.

Untuk menghibur anak-anak yang dalam segala hal jauh tertinggal dengan saudara-saudaranya sesama bangsa di tempat lain, khususnya di perkotaan itu, Praka Muchlis mengeluarkan uang Rp10 ribuan. Ia bagi-bagikan uang itu kepada beberapa anak dengan harapan bisa menghibur mereka.

"Bukan berarti sebagai prajurit saya banyak uang. Dalam situasi seperti itu, hanya seperti itu yang bisa saya berikan," ujar Muchlis yang biasa dipanggil Tukul karena dianggap mirip dengan presenter Tukul Arwana.

Jadilah hari itu sebagai peristiwa paling mengharukan. Meski tetap dengan berat hati, anak-anak polos dari kawasan timur itu akhirnya melepas para prajurit abang guru yang bersamanya selama beberapa bulan.

Kalau Praka Muchlis dan kawan-kawan begitu disayangi oleh anak-anak Sekolah Dasar (SD) Negeri Sinar Atubesi di Kampung Delumil, Desa Lamaksenulu, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, itu adalah wajar.

Selama kurang lebih 7 bulan anak-anak yang mengenyam pendidikan di sekolah "bayangan" itu belajar banyak hal dengan abang guru Praka Muchlis. Disebut bayangan karena sekolah mereka adalah kelas jarak jauh dari SD induk.

"Dibuat sekolah bayangan seperti itu karena jarak sekolah induk dengan rumah mereka 4--5 kilometer. Kalau tidak begitu, anak-anak itu sulit untuk bisa sekolah," kata Muchlis, prajurit asal Yogyakarta itu.

Ia bercerita, saat awal masuk pada Desember 2014, prajurit Yonif 514/Raider Bondowoso yang telah ditraining untuk membantu tugas pendidikan di daerah perbatasan itu menemukan sekolah yang sangat memperihatinkan.

Sekolah di Kampung Delumil, sekaligus menjadi nama pos para prajurit itu, lebih mirip dengan kandang ternak. Sekolah itu hanya ada tiga kelas yang terbuat dari kayu dengan kondisi tiang sudah hendak roboh dan atap seng yang banyak bocor. Sekolah di atas perbukitan itu hanya beralas tanah dan dibiarkan miring sesuai dengan kontur tanah.

"Karena lantainya miring, bangkunya diganjal dengan batu agar siswa tidak terjungkal ke belakang. Saat itu tidak ada pintunya sehingga babi keluar masuk saat pelajaran," katanya.

Maka, beberapa bulan pertama, abang guru Praka Tukul dan kawan-kawan tidak langsung mengajar meskipun sudah menyiapkan sejumlah buku bacaan dan peralatan tulis menulis. Para prajurit itu memilih berupaya untuk membenahi ruang kelas sekolah itu.

Mereka kemudian melakukan pendekatan kepada orang tua, perangkat desa, dan tokoh untuk membangun sekolah. Setelah dukungan banyak, mereka kemudian membangun sekolah itu dengan lantai mendatar sehingga bangku tidak perlu diganjal. Ruang antarkelas disekat dan memiliki pintu. Lantainya menggunakan semen.

Maka, mulailah abang guru menunjukkan kemampuannya di luar memegang senjata. Mereka lebih kaget lagi karena banyak dari mereka yang belum bisa baca tulis. Kalaupun bisa, kemampuan membaca dan menulisnya belum lancar.

"Gurunya banyak yang hanya honorer. Ada beberapa yang masih kuliah sehingga sering ditinggal ketika guru itu kuliah. Akhirnya, kami tidak hanya mengandalkan pendidikan di sekolah. Sore hari mereka kami ajak ke pos. Tapi manggilnya harus dipancing. Kami sediakan mi buat mereka," katanya.

Saat sore di pos itulah mereka dilatih terus-menerus untuk lancar membaca dan menulis. Dari 15 siswa yang ditangani intensif oleh Praka Tukul, sebanyak 10 siswa akhirnya lancar membaca dan menulis, sementara lima lainnya terkendala tingkat kehadiran karena rumahnya jauh dari pos dan sekolah. Prajurit guru lainnya juga memiliki keberhasilan lain.

Lettu Inf. Farid yang juga bertugas menjadi guru menceritakan kondisi di posnya, yakni Desa Dafala, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu. Di dekat posnya ada dua sekolah dasar dan satu sekolah menengah pertama.

Ia dan prajurit lain mengajarkan komputer untuk anak-anak SMP. Ternyata mereka banyak yang tidak tahu dengan komputer. Mereka bertanya apa manfaatnya kalau mereka belajar komputer. Dengan berbekal laptop, Lettu Farid mengajari mereka tentang komputer mulai dasar.

"Pelajaran itu lumayan intensif karena sepekan ada tiga kali pertemuan. Mereka kami ajari hal-hal yang mudah dulu tentang komputer dan bercerita tentang manfaat internet," katanya.

Sementara itu, Komandan Yonif 514/Raider Bondowoso Letkol Inf. Muhammad Nas mengemukakan dari sejumlah tugas pokok yang harus dijalankan sebagai satgas pamtas, 60 persennya adalah menjalankan peran teritorial, salah satunya di bidang pendidikan.

"Alhamdulillah selama awal Desember 2014 hingga September 2015 kami bertugas di Belu, banyak yang dikerjakan oleh para prajurit walaupun tentunya belum bisa 100 persen," kata perwira menengah asal Bukit Tinggi, Sumatera Barat, ini.

Ia mengaku bangga dengan apa yang dilakukan oleh para prajuritnya dalam memberi motivasi kepada anak-anak di daerah operasi yang dalam banyak hal memang jauh tertinggal. Ia berharap apa yang dilakukannya bersama prajuritnya bisa mengubah pola pikir masyarakat di kampung-kampung itu untuk maju pada masa depan.

Selain mendidik, personel Raider Kostrad itu juga melakukan pengobatan gratis kepada warga. Bahkan, prajurit yang sebelum berangkat ke Belu diwajibkan magang di sejumlah puskesmas di Bondowoso itu siap dipanggil 24 jam jika ada warga yang sakit.

Mengenai kendala di tempat penugasan, Muhammad Nas mengemukan bahwa bagi prajurit, semuanya menjadi peluang untuk berbuat sesuatu kepada rakyat. Kendala adalah peluang untuk berbuat.

Pernah di satu pos, dia menemukan prajurit mengambil air menuruni tebing sekitar 2 kilometer. Kalau di bawah mandi, sampai di atas (pos) akan berkeringat kembali. Akhirnya, dia mencari cara dan menemukan solusi lewat program CSR Telkomsel.

"Kami buat tandon dan mesin agar air bisa naik. Masyarakat di situ akhirnya senang bisa mendapatkan air bersih dengan mudah," katanya Nas mengakhiri cerita.

Oleh Masuki M. Astro
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015