Bengkulu (ANTARA News) - Daun katuk lebih dikenal sebagai sayuran yang bermanfaat bagi ibu menyusui, namun di tangan Prof Urip Santoso, daun katuk mampu mengurangi kadar kolesterol dalam daging dan telur unggas.

Prof Urip Santoso, guru besar dari Universitas Bengkulu mulai meneliti daun katuk untuk ternak unggas sejak 1995 setelah menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Universitas Gifu, Jepang.

Bermacam kandungan dalam katuk (Sauropus androgynus), terutama senyawa-senyawa yang dapat menekan kadar kolesterol, membuat ayah tiga anak itu tertarik meneliti daun katuk untuk unggas.

"Katuk bisa menekan kandungan lemak tapi sekaligus meningkatkan kualitas karkas daging," kata pria kelahiran Brebes, Jawa Tengah pada 1966 itu saat ditemui di kampus Universitas Bengkulu.

Daun katuk kaya akan kandungan senyawa yang bermanfaat antara lain plafonoid, saponin, dan tanin yang berfungsi mengurangi lemak.

Selain itu, daun katuk juga mengandung antioksidan yang bekerja mencegah terjadinya oksidasi dalam tubuh, sehingga mencegah pembentukan radikal bebas yang menjadi bibit penyakit.

"Konsumsi daging yang rendah kolesterol otomatis akan mengurangi risiko terkena serangan jantung, kanker dan penyakit lain," katanya.

Hasil riset yang dilakukan beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun katuk sebanyak 9 gram ke dalam 1 kilogram pakan ternak unggas, dapat mengurangi lemak pada daging ayam broiler, itik dan burung puyuh.

Sedangkan pada ayam petelur, pemberian ekstrak daun katuk sebanyak 9 gram per kilogram pakan dapat mengurangi kadar kolesterol dalam telur ayam hingga 40 persen.

Kedua hasil penelitian itu sudah pernah diujicobakan kepada peternak lokal di Kabupaten Seluma untuk ayam pedaging dan di Kabupaten Bengkulu Tengah untuk ayam petelur.

Hasilnya cukup baik, selain meningkatkan kualitas daging dan telur, pemberian ekstrak daun katuk juga meningkatkan efisiensi pakan ternak dan mengirit pemberian pakan hingga 200 gram.

Unggas yang mendapat ekstrak daun katuk juga terhindar dari penyakit pengkor atau kelainan pada kaki yang bisa membuat harga jual turun.

"Peternak sudah bisa membuat ekstrak sendiri, tapi mereka mengeluh karena cukup repot, sementara untuk membeli produknya belum tersedia," ujarnya.

Pengembangan produk ekstrak daun katuk dalam skala besar menurut dia juga terkendala bahan baku yakni daun katuk, sebab budidaya tumbuhan itu masih dalam skala terbatas.

Karena keterbatasan bahan baku tersebut, maka rencana salah satu perusahaan dari Jawa yang menawarkan pendirian pabrik ekstrak daun katuk terpaksa dibatalkan.

Urip berharap, riset yang sudah dilakukannya bertahun-tahun hingga meraih jabatan profesor dapat bermanfaat untuk masyarakat.

Sejak meneliti daun katuk pada 1995, suami dari Isnani Mentari ini sudah menulis 21 artikel ilmiah di jurnal internasional dan 94 artikel baik ilmiah dalam terbitan luar negeri maupun dalam negeri serta tujuh buah judul buku tentang peternakan.

Dosen pengampu mata kuliah Nutrisi Ternak Dasar dan Metabolisme Lemak di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu ini bercita-cita lewat penelitiannya, masyarakat bisa mendapatkan pangan berkualitas untuk menciptakan penduduk yang sehat.

Karena itu, ia berharap peran pemerintah memfasilitasi dan mengaplikasikan hasil penelitian di kampus dan menghadirkan ke masyarakat lewat industri.

"Saya berharap riset saya tidak hanya sebatas publikasi, tapi bermanfaat bagi masyarakat dengan bantuan pemerintah dan dunia usaha," katanya.

Oleh Helti Marini Sipayung
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015