Jakarta (ANTARA News) - Perubahan bentuk atau susunan, kata lain peralihan bentuk, merupakan arti kata metamorfosis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Pengamat swasembada pangan Ir. Setyo Purwadi berpendapat tonggak metamorfosis pangan nasional memasuki babak baru pada tahun 1968. Ketika itu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tengah mencanangkan swasembada pangan dengan tujuan untuk pemenuhan kebutuhan beras nasional dan mengatasi tekanan impor beras.

"Hingga tahun 1979 pemerintah melalui Departemen Pertanian kala itu, selalu memberikan apresiasi lomba-lomba penghargaan kepada aparatur pembina Bimas (Bimbingan Masyarakat) yang berhasil meningkatkan koordinasi layanan intensifikasi," kata Setyo yang juga Kepala Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatra Utara periode 2009-2014.

Mulai dari tonggak tersebut, terukir sejarah 1984 Pemerintah Orba mengklaim pencapaian swasembada beras, yang pada era itu ditandai dengan Indonesia mendapatkan penghargaan atas kinerja pertanian dan pangan dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia di Roma, Itali.

Namun, implikasi pencapaian pembangunan tersebut menorehkan persoalan baru di Indonesia, yaitu pangan pokok diidentikkan dengan beras sehingga mengakibatkan jenis-jenis pangan pokok non beras tergantikan posisinya karena alasan gengsi.

"Setelah itu pada era 90-an, terjadi perubahan pendekatan peningkatan produksi pangan, menjadi pembangunan pangan berdasar ketahanan untuk mencukupi kebutuhan setiap masyarakat," katanya.

Selanjutnya seiring berjalannya proses metamorfosis pangan, pada Pemilu 2014 menjadi senjata kampanye kandidat presiden. Hal tersebut berhasil menciptakan kesan mendalam pada harapan rakyat untuk mensejahterakan petani siapapun pemimpin Indonesia yang terpilih.

"Harusnya, siapapun pemimpinnya realisasinya adalah tetap swasembada pangan, namun ironinya, berkaca dari analisis pakar pertanian HS Dillon atas data impor komoditi pangan Indonesia rentang waktu 2003-2013, menunjukkan impor pangan Indonesia beranjak dari 3,028 miliar dolar Amerika merangkak naik menjadi 12,967 miliar dolar Amerika," katanya.

Lebih lanjut, ia mengartikan sekalipun produksi pangan dalam negeri surplus 10 juta ton beras pada masa pemerintahan SBY tetap belum mampu menghindarkan impor dalam memenuhi kebutuhan pangan.

"Hingga saat ini pun, memang belum terbukti dengan adanya pergantian pemimpin, namun saya berharap semoga apa yang telah di-visi-kan akan tercapai," kata Setyo.

Ia menyarankan, pentingnya untuk menerapkan kaidah one basket policy atau kebijakannya dikelola secara filosofis dalam satu wadah. Setyo menuturkan hal tersebut agar mampu mengintegrasikan kepada setiap kementerian atau lembaga terkait.

"Yang terpenting itu, mengintegrasikan permasalahan, bukan semua berusaha menyelesaikan permasalahan, hal tersebut malah tidak fokus," katanya.

Hambatan El Nino
Peneliti Center for Information and Development Studies atau CIDES Rudi Wahyono memprediksi gelombang panas atau El Nino terpanas akan terjadi pada minggu ketiga atau menjelang akhir bulan Oktober 2015.

"Gelombang panas ini merupakan terpanas sepanjang sejarah setelah tahun 1997, dan perlu diwaspadai dampak-dampaknya," kata Rudi.

Lebih rinci, ia menjelaskan bahwa kategori El Nino terpanas adalah jika mencapai selisih tiga derajat celcius dari suhu normal. Padahal awal bulan ini sudah mencapai selisih sekitar 2,8 derajat celcius.

Dampak secara nyata dan langsung adalah pertanian. Dari segi pertumbuhan tanaman jelas akan terganggu, dengan banyaknya ancaman kekeringan.

"Daun-daun juga lebih cepat kering, karena fotosintesis yang berlebih, secara otomatis komoditas pangan akan menurun," katanya.

Setelah permasalahan El Nino ternyata berdampak pada sektor pertanian, tentu saja akan mengacu pada menurunnya capaian produksi pertanian.

Namun justru ada indikasi menuju fase kepompong, atau swasembada pangan, benarkah?

Menjawab pertanyaan tersebut Menteri Pertanian RI Amran Sulaiman mengatakan upaya pemerintah yang terus menekan impor pangan dari berbagai negara, ternyata mampu menghemat negara hingga Rp56 triliun.

"Kami akan terus menekan impor pangan dari luar negeri, karena potensi alam dan sumber daya Indonesia jika dikelola dan diberdayakan secara maksimal, Indonesia tidak perlu impor lagi pangan bahkan saat ini sudah mulai ekspor ke berbagai negara," katanya.

Menurut dia, ada beberapa komoditi pangan yang awalnya impor tetapi saat ini sudah ekspor seperti kacang hijau, cabai, bawang merah dan putih, jagung dan lain-lain. Ini menunjukkan petani di Indonesia mampu menghasilkan pangan yang berkualitas dan memiliki kuantitas, bahkan hari ini, Selasa, (6/10) Indonesia juga mengekspor telur tetas ayam ke Myanmar.

Selain itu, yang paling membanggakan selama ini Indonesia selalu impor bawang merah, tetapi sekarang sudah bisa ekspor ke beberapa negara. Dengan mengendalikan impor ternyata bisa menghemat keuangan negara hingga Rp56 triliun dan petani baik skala kecil maupun besar juga mendapatkan keuntungan yang lebih.

Oleh Afut Syafril
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015