KPK menolak usulan-usulan untuk dilakukaknya revisi UU KPK dengan beberapa poin yang ingin dsampaikan sebagai berikut, pertama tidak perlu dilakukan pembatasan masa kerja KPK yang disebutkan di (RUU KPK) itu paling lama 12 tahun sesuai pasal 2 angka
Jakarta (ANTARA News) - KPK menolak Rancangan Undang-undang No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diajukan oleh DPR untuk dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 dengan enam alasan.

"KPK menolak usulan-usulan untuk dilakukaknya revisi UU KPK dengan beberapa poin yang ingin dsampaikan sebagai berikut, pertama tidak perlu dilakukan pembatasan masa kerja KPK yang disebutkan di (RUU KPK) itu paling lama 12 tahun sesuai pasal 2 angka 2 TAP MPR No VIII/2001 MPR RI yang mengamanatkan pembentukkan KPK dan tidak disebutkan adanya pembatasan waktu," kata Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Rabu.

Tap MPR VIII/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme pasal 2 ayat 2 berbunyi "Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi dimasa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya".

"Kedua, tidak perlu dihapuskan kewenangan penuntutan karena proses penuntutan yang dilakukan KPK merupakan bagian tidak terpisahkan penanganan perkara terintegrasi. Selama 12 tahun ini KPK membuktikan ada kerja sama yang baik penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang dibuktikan dengan dikabulkannya tuntutan oleh majelis hakim pengadilan Tipikor atau 100 percent convictional rate," tambah Ruki.

Ketiga, KPK juga menolak pembatasan penanganan perkara oleh KPK harus di atas Rp50 miliar sebagaimana tertera dalam RUU KPK pasal 13 huruf b.

"Adalah tidak mendasar karena KPK fokus kepada subjek hukum, bukan kepada kerugian negara yaitu subjek hukum penyelenggara negara TAP MPR XI tahun 1998 dan UU No 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme," ungkap Ruki

Penolakan keempat, KPK sudah memperkuat akuntabilitas kewenangan penyadapan sehingga tidak ada alasan untuk membatasi kewenangan tersebut sebagaimana RUU KPK pasal 14.

"Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2003, MK menyatakan bahwa kewenangan penyadapan KPK tidak melanggar konstitusi sehingga perlu dipertahankan dan selama ini kewenangan penyadapan sangat mendukung keberhasilan KPK pemberantasan korupsi kalau dicabut akan melemahkan upaya-upaya KPK pemberantasan korupsi, kedua penyadapan legal by regulated bukan court order, bukan izin pengadilan," tegas Ruki.

Poin kelima, KPK juga menolak adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) di KPK.

"KPK tetap tidak memiliki SP3 kecuali limitatif yang menyebutkan, pertama tersangka atau terdakwa meninggal dunia, karena kalau meninggal mau tidak mau penyidikan dihentikan dan kedua tersangka tidak layak diperiksa di pengadilan atau dalam bahasa hukumnya unfit to stand trial," jelas Ruki.

Penolakan terakhir KPK adalah mengenai penolakan KPK tidak bisa mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri.

"KPK harus diberikan kewenangan rekrutmen pegawai mandiri termasuk mengangkat penyelidik, penyidik, penuntut umum, yang diangkat langsung pimpinan KPK berdasarkan kompetensi, bukan status sebagai polisi atau jaksa tapi kompetensi yang dimilikinya," ungkap Ruki.

Terdapat sejumlah kejanggalan dalam RUU KPK tersebut, misalnya pertama KPK diamanatkan untuk hanya fokus untuk melakukan upaya pencegahan dan menghilangkan frase pemberantasan korupsi (pasal 4); kedua KPK dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan (pasal 5); ketiga penghilangan wewenang penuntutan oleh KPK maupun monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah negara sebagaimana pasal 7 butir d yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang ini dan/atau penanganannya di Kepolisian dan/atau kejaksaan mengalami hambatan karena campur tangan dari pemegang kekuasaan, baik eksekutif, yudikatif atau legislatif.

Keempat, penghilangan butir menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan pada pasal 8; kelima batasan kerugian negara paling sedikit Rp50 miliar dan bila di bawah jumlah tersebut maka KPK wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara kepada kepolisian dan kejaksaan (pasal 13); keenam penyadapan hanya boleh dilakukan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri (pasal 14); ketujuh penghilangan butir KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi (pasal 20).

Kedelapan, pembentukan Dewan Eksekutif sebagai pengganti Tim Penasihat (pasal 22 huruf b); Kesembilan, Pengangkatan Dewan Esekutif yang disebut bekerja membantu KPK dalam melaksanakan tugas sehari-hari (pasal 23-24); Kesepuluh, anggota Dewan Eksekutif terdiri atas Pegawai Negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan dan Kementerian yang membidangi komunikasi dan informasi (pasal 25); Kesebelas, pertambahan usia minimal pimpinan KPK menjadi 50 tahun (pasal 30).

Kedua belas, penambahan syarat berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari 3 bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya untuk pimpinan KPK yang berhenti atau diberhentikan (pasal 33); Ketiga belas, penambahan fungsi Dewan Kehormatan untuk memeriksa dan memutuskan pelanggaran kewenangan yang dilakukan komisioner KPK dan pegawai KPK (pasal 39); Keempat belas, KPK berhak mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) suatu perkara korupsi (pasal 42); Kelima belas KPK hanya dapat mengangkat penyelidik atas usulan dari kepolisian atau kejaksaan (pasal 45).

Keenam belas, penyitaan harus berdasarkan izin Ketua Pengadilan Negeri (pasal 49); Ketujuh belas, masih adanya pengaturan wewenang penuntutan dalam pasal 53; dan Ketujuh belas pembatasan UU hanya berlaku selama 12 tahun setelah UU diundangkan yang artinya juga masa berdiri KPK pun hanya 12 tahun (pasal 73).

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015