Mekkah (ANTARA News) - Dalam dunia layar kaca ada sinetron Para Pencari Tuhan (PPT) yang hanya tayang pada Bulan Ramadhan

Dalam dunia nyata, ada para pencari jenazah di Tanah Suci, yang biasanya hanya sibuk di musim haji.

Apalagi bila ada peristiwa besar yang menimbulkan banyak korban meninggal dan cidera. Jadilah mereka andalan terdepan untuk mendapat informasi terkini tentang kondisi jamaah di medan peristiwa.

"Dalam situasi seperti itu, informasi sekecil apapun sangat berharga dan kami tindak lanjuti," kata Kepala Seksi Perlindungan Jamaah Daerah Kerja (Daker) Mekkah Letkol Jaetul Muchlis Basyir, memulai kisah dan pengalamannya mencari jamaah yang hilang dalam Peristiwa Mina maupun crane roboh di Masjidil Haram pada musim haji 1436H/2015.

Berharga tidak hanya terkait pertolongan pertama terhadap jamaah terutama dari Indonesia yang terluka atau meninggal dunia, tapi juga bernilai karena waktu yang dibutuhkan untuk menembus birokrasi otoritas di Arab Saudi guna mendapatkan informasi terkait korban tidaklah mudah.

Jika tidak pintar membaca peluang dan berstrategi, mereka yang datang untuk mencari informasi bisa kembali dengan tangan hampa. Hal itulah yang juga pernah dialami Tim Linjam, demikian biasanya Media Center Haji (MCH) menyebut, kelompok kerja yang dipimpin Letkol dari TNI Angkatan Udara itu.


Cari Akses

Tim Linjam Daker Mekkah pada awalnya hanya bertugas melindungi jamaah haji yang tersesat terutama saat ibadah di Masjidil Haram atau mereka yang sakit, terluka, dan meninggal di luar sarana kesehatan.

Namun seiring dengan dua musibah besar yang melanda jamaah haji tahun ini di Mekkah, tim yang beranggotakan TNI, Polri, dokter, dan Konjen RI, menjadi para pencari jenazah di pemulasaran mayat, di Al Mu'ashim, tempat semua korban meninggal dalam Peristiwa Mina maupun crane roboh dikumpulkan, sebelum dimakamkan.

"Makanya pekerjaan kami agak unik, mengusik-usik kamar-kamar jenazah (di rumah-rumah sakit) dan penampungan mayat yang ada di Arab Saudi," ujar Muchlis dengan logat Sunda yang kental.

Meski terbilang unik dan mungkin menakutkan bagi sebagian orang, namun Muchlis, dr Taufik Tjahjadi, Fadhil Ahmad, dan Naif Bajri Basri Marjan yang menjadi tim inti identifikasi jenazah, nampak sangat menikmati pekerjaan dan amanah yang diberikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin kepada mereka.

"Kadang jamaah yang sedang kami cari sampai kebawa dalam mimpi," ujar Muchlis dengan nada serius, tanda ia tidak bergurau.

Bahkan mereka kadang ikut berduka ketika jamaah yang diinformasikan belum kembali ke pemondokan sejak Peristiwa Mina maupun crane roboh, tidak juga berhasil ditemukan atau mereka identifikasi.

"Segala cara kami lakukan," ujar Muchlis lagi. Ia bahkan bersedia melakukan sesuatu yang tidak biasa dilakukannya seperti berpelukan dan mencium pipi kanan dan pipi kiri terhadap orang yang baru ditemui atau mengobral janji.

"Yaa kalau lazimnya orang sini harus peluk kiri kanan, cipika-cipiki (cium pipi kanan dan kiri) itu kami lakukan semua, yang penting dapat akses masuk untuk mendapatkan informasi," kata Alumni Seskoau tahun 2007 itu.

Tidak itu saja, agar bisa lebih dekat dengan petugas yang punya otoritas untuk menembus akses data tentang jamaah yang menjadi korban meninggal, mereka pun mengobral janji, akan mengantar warga negara Arab itu kemanapun mereka ingin pergi bila berkunjung ke Indonesia.

"Pokoknya kami mengekspos apa aja yang mereka suka, yang penting terjadi harmoni dan bisa dapat akses yang luas," ujar ayah dari dua orang putra dan satu putri yang ramah itu.


Identifikasi

Beruntung Tim Linjam memiliki Naif Bajri Basri Marjan (33). Pria berdarah Palembang, Sumatera Selatan, yang lahir dan besar di Arab Saudi. Akibatnya ia lebih pandai dan fasih berbahasa Arab ketimbang berbahasa Indonesia. Selain itu, pemuda bertubuh tinggi dan berparas putih itu nampak paham betul kultur orang Arab.

"Orang Arab itu suka kalau kita bantuin dia," ujar Naif dengan Bahasa Indonesia yang kadang terbalik-balik, pendek dan patah-patah.

Karena ringan membantu itu menjadi salah satu pintu masuk untuk menembus data dokumen jenazah yang ada di pemulasaran mayat, Naif dan anggota tim linjam lainnya melakukan aksi bantu-bantu merapihkan arsip di tempat tersebut.

Tentunya, hal itu juga dimanfaatkan mereka untuk mencari dokumen tentang jenazah yang ditengarai berasal dari Indonesia. Satu paket atau file dokumen itu biasanya berisi semua yang melekat pada tubuh jenazah ketika ditemukan, seperti gelang tembaga yang menjadi identitas jamaah haji Indonesia, pakaian ihram, slayer, kartu penginapan, kartu bus, dan lain-lain.

"Kami melakukan verifikasi berangkat dari kebiasaan orang Indonesia dan kelaziman mereka. Baik dari segi berpakaian dan raut muka (foto) serta hal lain yang khas seperti gelang dan slayer yang beraneka warna. Itu modal kami menelusuri keberadaan mereka yang diduga sebagai korban dalam peristiwa tersebut," kata Muchlis yang sudah beberapa kali memimpin tim linjam sehingga nampak paham betul karakter jamaah Indonesia hanya dengan melihat dari kejauhan.

Sampai hari ke-15 sejak peristiwa Mina, Tim Linjam tersebut telah berhasil menemukan 149 korban peristiwa Mina. Sebanyak 118 jamaah menjadi korban meninggal, empat jamaah menjadi korban luka dan masih di rumah sakit, 26 jamaah telah kembali ke pemondokan mereka.

Sedangkan sisanya lima jamaah hingga Jumat 9 Oktober 2015 belum diketahui keberadaannya sejak peristiwa Mina terjadi. Namun, para pencari jenazah yang tidak mengenal lelah sebelum tugas dituntaskan itu, juga menemukan lima jamaah WNI yang telah bermukim di Arab Saudi, ikut menjadi korban dalam tragedy tersebut.

Sementara untuk korban crane roboh, mereka telah berhasil mengidentifikasi 55 jamaah Indonesia yang menjadi korban, 12 diantaranya meninggal dunia, dan 43 mengalami cidera ringan dan berat.

"Kami berharap pada musim haji tahun depan, ada contingency plan (rencana darurat) untuk mengantisipasi kejadian luar biasa seperti ini, sehingga bila ada peristiwa besar bisa langsung action', tidak perlu terlalu banyak rapat dan briefing," ujar Kepala Subdinas Pembinaan Dinas Perawatan Personel di TNI-AU itu.

Oleh Risbiani Fardaniah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015