Jakarta (ANTARA News) - Perekonomian nasional sejak awal 2015 mengalami kelesuan akibat gejolak yang melanda perekonomian global, terutama karena perkembangan ekonomi Amerika Serikat dan Tiongkok yang sulit diprediksi serta turunnya harga komoditas dunia.

Dampak eksternal itu menyebabkan ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,71 persen pada triwulan I-2015 dan 4,67 persen pada triwulan II. Pada akhir tahun, pertumbuhan ekonomi hanya diproyeksikan mencapai kisaran 4,7-5,1 persen.

Tekanan tersebut makin menghebat ketika kurs rupiah terhadap dolar AS terus mengalami pelemahan karena ketidakpastian atas kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS (the Fed) serta aksi devaluasi Yuan dari Tiongkok pada Agustus 2015.

Para pelaku pasar terlihat khawatir dalam menyikapi perkembangan tersebut sehingga imbasnya Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Indonesia (IHSG BEI) ikut-ikutan berfluktuasi dan cenderung melemah, padahal arus modal keluar dari Indonesia sudah terlampau besar.

Bank Indonesia mencatat kepemilikan asing di bursa saham maupun pasar obligasi Indonesia hingga awal Oktober 2015 hanya mencapai Rp37 triliun, dibanding dengan kondisi per Desember 2014 yang tercatat sebesar Rp170 triliun.

Pada September 2015, pemerintah beserta otoritas terkait seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan saling bersinergi menerbitkan paket kebijakan secara bertahap, dengan harapan kinerja perekonomian nasional kembali bergairah.

Garis besar penerbitan paket kebijakan ekonomi yang telah terbit dalam tiga jilid tersebut adalah mempercepat pengembangan ekonomi makro yang kondusif, menggerakkan ekonomi nasional, melindungi masyarakat berpenghasilan rendah serta menggerakkan ekonomi pedesaan.

Beragam kemudahan hadir dalam paket kebijakan tersebut antara lain deregulasi untuk mendorong perbaikan iklim investasi dan percepatan proyek pembangunan, pemberian insentif perpajakan hingga penurunan harga energi bagi sektor industri.

Setelah paket kebijakan jilid I yang lebih banyak berisi deregulasi peraturan dikritik oleh banyak pelaku pasar karena dianggap tidak berdampak jangka pendek, respon lebih positif muncul setelah pengumuman paket kebijakan jilid III.

Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia Persero (BNI) Ryan Kiryanto mengatakan efek positif dari paket kebijakan ekonomi pemerintah adalah kepastian penyederhanaan birokasi untuk investasi, dan insentif bagi dunia usaha.

Dengan penyederhanaan birokrasi dan pemberian insentif, investor semakin percaya diri untuk menanamkan modalnya di dalam negeri. Efek kebijakan lainnya, pengusaha juga tidak ragu untuk membawa dolarnya ke Tanah Air dan menukarkannya dengan rupiah.

"Pada paket deregulasi (jilid I), kedua perizinan usaha dipangkas menjadi hanya tiga jam sehingga investor dapat dengan cepat menerima kepastian dalam merealisasikan investasinya," ujar Ryan terkait adanya kemudahan birokrasi tersebut.

Pengamat pasar keuangan William Surya Wijaya meyakini paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah diapresiasi investor sehingga membuka peluang arus dana asing kembali masuk ke Indonesia yang akhirnya mengangkat rupiah.

"Pemilik modal biasanya mengantisipasi terlebih dahulu dengan kembali melakukan investasi. Nilai tukar rupiah yang terapresiasi menandakan kebijakan pemerintah direspons positif," ujar William Surya Wijaya yang juga analis dari Analis Asjaya Indosurya Securities.

Ia mengemukakan bahwa salah satu kebijakan ekonomi jilid III yakni penurunan harga bahan bakar minyak (BBM), gas dan tarif listrik bagi industri dapat menekan beban biaya perusahaan di sektor aneka industri di antaranya otomotif dan komponennya, tekstil dan elektronik.

Namun William Surya Wijaya mengharapkan kebijakan pemerintah itu direspon dengan penurunan harga jual produknya agar daya beli masyarakat kembali meningkat sehingga dampaknya ke ekonomi dalam negeri dapat dirasakan.


Penguatan Sektor Riil

Sementara itu ekonom Universitas Indonesia (UI) Rizal E Halim mengatakan Paket Kebijakan Ekonomi III yang dikeluarkan pemerintah lebih realistis untuk tetap menjaga stabilitas ekonomi nasional dibandingkan paket sebelumnya.

"Ini kesempatan konsolidasi ekonomi nasional beberapa bulan ke depan menjelang 2016 dimana perkiraan kenaikan the Fed rate akan diberlakukan," katanya di Kampus Universitas Indonesia, Depok.

Menurut dia, penguatan kurs rupiah terhadap dolar AS perlu terus dijaga khususnya di tengah perlambatan dan ketidakpastian global. Penguatan sektor riil, lanjut dia, menjadi satu-satunya cara untuk menahan spekulasi di sektor pasar uang dan pasar modal.

"Itu yang dibutuhkan saat ini. Kalkulasi risiko-risiko lainnya tetap perlu dilakukan. Begitu juga respon cepat untuk kebijakan-kebijakan jangka pendek seperti dalam paket ketiga ini," jelas pakar marketing ini.

Anggota Komisi XI DPR RI Wilgo Zainar menambahkan paket kebijakan tersebut seharusnya bisa menjawab kebutuhan dan kepentingan dari sektor riil yang rentan terhadap gejolak apabila perekonomian nasional melemah seperti sekarang.

Untuk itu, ia mengharapkan paket kebijakan ekonomi, terutama jilid III, bisa meningkatkan daya beli serta mengurangi beban masyarakat dan sektor industri bisa kembali berproduksi tanpa khawatir harus melakukan pemutusan hubungan kerja.

"Kita harapkan paket kebijakan yang ketiga dapat menjawab kebutuhan sektor rill. Karena melambatnya perekonomian, berdampak pada sektor riil. Industri banyak yang mati, dan gelombang PHK terus terjadi," kata politikus fraksi Partai Gerindra ini.

Secara keseluruhan, besar harapan paket kebijakan dalam jangka menengah panjang mampu menjaga perekonomian nasional agar tetap bergerak dari berbagai sektor seperti investasi, industri, finansial, perbankan dan usaha kecil.

Bila pemerintah bersama pihak-pihak terkait konsisten dalam melaksanakan paket kebijakan ekonomi ini maka fundamental perekonomian Indonesia dipastikan akan membaik dan tidak lagi rentan terhadap tekanan eksternal.

Bahkan perekonomian bisa tumbuh lebih positif di 2016, karena sejumlah deregulasi peraturan untuk kemudahan investasi bisa mulai terlihat hasilnya. Meskipun demikian, ketidakpastian terkait kenaikan suku bunga the Fed, prospek perekonomian Tiongkok dan turunnya harga komoditas global, masih melanda.

Untuk itu apabila implementasi paket kebijakan ekonomi hanya setengah hati maka bisa dipastikan kepercayaan investor kembali luntur dan perekonomian nasional kembali goyah dalam menghadapi tantangan global di 2016 yang semakin beragam.

Oleh Satyagraha
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015