Jakarta (ANTARA News) - Setara Institute mengkritik rencana Kementerian Pertahanan RI melakukan pendidikan bela negara untuk 10 juta orang dalam 100 tahun kedepan.

"Itu adalah gagasan irasional dan tidak kontekstual dengan kebutuhan berbangsa dan bernegara untuk meningkatkan kualitas berkewarganegaraan," kata Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi lewat pesan pendek, Selasa.

Selain secara finansial tidak akan mampu tercukupi oleh APBN, menurut Hendardi, rencana itu juga keluar dari mandat konstitusi yg mendorong pendidikan bela negara diintegrasikan dalam setiap pendidikan warga.

Ia mengatakan pendidikan bela negara bukan sebuah proyek kementerian tetapi strategi pendidikan dalam sebuah sistem pendidikan nasional yang menghasilkan warga negara berkarakter dan memiliki semangat pembelaan terhadap negara dan bangsa.

"Argumentasi gagasan itu juga absurd karena berbagai persoalan kebangsaan ini justru berakar pada sistem pendidikan yang belum mampu menciptakan warga negara yang paripurna. Juga minimnya teladan elit politik yg ingkar pada sumpah jabatan yg diucapkannya untuk membela negara-bangsa," tambahnya.

Menurut Hendardi, kebutuhan mutakhir bela negara bukanlah dengan menghimpun manusia untuk baris berbaris, tetapi meningkatkan competitive advantage warga negara untuk bangga menjadi Indonesia dan membela bangsanya dengan menjadi manusia berkualitas.

Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan kemunculan gagasan bela negara yang bersumber dari institusi pertahanan/TNI merupakan klaim bahwa seolah TNI adalah yang paling nasionalis dan patriotik.

"Padahal di masa Orde Baru, justru militer yang menjadi penopang diktatorisme dan penghalang demokrasi. Paradigma negara paling tahu dan memonopoli tafsir atas nasionalisme dan cinta tanah air adalah omong kosong dan keliru," ujarnya dalam siaran pers yang diterima ANTARA News, Selasa.

Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa banyak warga negara yang mengharumkan nama negara dengan prestasi di berbagai bidang.

"Mereka yang membantu sesama di segala penjuru Tanah Air. Mereka yang aktif dalam kegiatan sosial termasuk membuka pendidikan untuk orang rimba dan tidak berpunya. Semua dilakukan tanpa intervensi negara dan tanpa pelatihan bela negara. Pelatihan model bela negara sesungguhnya tidak perlu dan tidak dibutuhkan," terangnya.

Selain soal pendanaan yang tidak masuk akal, lanjutnya, dasar hukum bela negara juga terbatas pada Konstitusi yang masih perlu penjabaran detail dalam bentuk UU. "Jikapun dipaksakan, pendidikan bela negara tidak perlu dikelola seperti gagasan Menhan. Integrasi dalam kurikulum dengan biaya yang terintegrasi pada pendidikan bisa dimanfaatkan. Apalagi rencana ini grasa grusu tanpa terlebih dahulu diujicobakan dan didiskusikan materi dan metodenya," kata Bonar.

Ia menambahkan, "Jangan sampai ide ini gagal diterjemahkan seperti pendidikan empat pilar, pendidikan karakter, yang ujungnya hanya menambah daftar proyek kementerian."

Pewarta: Monalisa
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015