Tidak perlu bela negara dengan membawa pistol ke mana-mana."
Beijing (ANTARA News) - Duta Besar Republik Indonesia untuk Tiongkok merangkap Mongolia Soegeng Rahardjo mengatakan bela negara juga mendukung diplomasi RI di mancanegara.

"Bela negara Warga Negara Indoensia di mancanegara, seperti kita yang berada di Tiongkok, dengan menunjukkan jati diri kita sebagai bangsa dan negara yang besar, berdaulat, tampilkan Indonesia sebagai negara yang toleran, jujur, menjunjung harmonisasi," ujarnya di Beijing, Sabtu.

Ia menimpali, "Berperilaku, bersikap, bertutur sesuai jati diri kita, sehingga kita dihargai bangsa lain, itu bentuk bela negara."

Di hadapan mahasiswa Indonesia dalam seminar bertajuk "Indonesia di mata Tiongkok", ia mengatakan, "Perilaku, sikap dan tutur bahasa kita menjadi cerminan tentang Indonesia di mancanegara negara."

Selain itu, dikatakannya, "Jika perilaku, sikap dan tutur bahasa kita didasarkan rasa cinta tanah air, kebangggan kepada tanah air maka bangsa lain akan menghormati kita tidak saja sebagai individu, tetapi juga sebagai warga negara dari bangsa dan negara yang besar."

Diplomat karir Kementerian Luar Negeri RI itu berpendapat, bela negara tidak semata dilakukan dengan mengangkat senjata.

"Menjaga nama dan citra baik Indonesia di mancanegara juga merupakan bentuk bela negara. Tidak perlu bela negara dengan membawa pistol ke mana-mana," katanya.

Soegeng menekankan, jika bangsa lain sudah menghormati Indonesia, maka berbagai upaya diplomasi dapat lebih mudah dijalankan dan kepentingan nasional dalam sebuah hubungan serta kerja sama internasional dapat lebih mudah digapai maksimal.

Ia pun mengatakan, "Hubungan Indonesia dan Tiongkok yang telah berjalan 65 tahun, tidak terlepas dari pasang surut. Pembekuan hubungan selama 23 tahun menyisakan catatan tersendiri bagi Indonesia dan Tiongkok, tentang masing-masing pihak."

Dikemukakannya pula, "Pengalaman psikologis yang terjadi pada era 1960-an dan 1998, masih menjadi stigma bahwa Indonesia tidak aman, tidak ramah bagi warga keturunan Tionghoa, begitu stigma masyarakat Indonesia terhadap masyarakat Tiongkok."

"Ini menjadi tugas kita bersama, Warga Negara Indonesia, termasuk generasi muda, para pelajar dan mahasiswa, profesional yang berada di Tiongkok untuk menciptakan citra, persepsi Indonesia yang positif, sehingga mereka nyaman bersahabat dengan Indonesia. Ini bela negara," demikian Soegeng Rahardjo.



1998

Diana Hudin, mahasiswi Indonesia yang tengah menempuh pendidikan di Universitas Tsinghua, Beijing, mengatakan pihaknya kerap mendapat pertanyaan dari rekan kuliah dan dosen tentang peristiwa Mei 1998.

"Mereka kerap bertanya tentang kenapa peristiwa Mei 1998 terjadi, mengatakan warga keturunan Tionghoa menjadi korban, amankan Indonesia bagi kami. Karena bagi mereka warga keturunan Tionghoa di Indonesia, tetapi bagian dari masyarakat Tiongkok," ungkapnya.

Hal senada diungkapkan Gery, mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di Universitas Bahasa Asing (BFSU), yang mengatakan,"persepsi Tiongkok tentang Indonesia masih terkait peristiwa 1998, terlebih mereka tidak pernah tahu perkembangan politik terkini Indonesia, khususnya terkait warga keturunan Tionghoa,".

"Jika persepsi atau citra yang kurang bagus masih melekat di masing-masing masyarakat kedua negara, bagaimana hubungan dan kerja sama yang dijalin Indonesia-Tiongkok dapat berjalan maksimal," katanya.

Christine, mahasiswi Indonesia di Universitas Peking menambahkan,"meski Indonesia dan Tiongkok telah menjadi mitra strategis komprehensif, namun citra dan persepsi kurang baik antara masyarakat kedua pihak, masih belum berubah secara signifikan.

***2***

(T.R018/B/H015/H015) 17-10-2015 15:56:12

Pewarta: Rini Utami
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2015