Melalui pembentukan UU JPSK ini pemerintah bisa menyempurnakan kelembagaan sistem keuangan negara dalam menghadapi ancaman krisis keuangan global, akan tetapi masih butuh penguatan,"
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi XI Marwan Cik Asan menyatakan Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) masih membutuhkan penguatan agar tujuan pemerintah menyempurnakan kelembagaan sistem keuangan negara dalam menghadapi ancaman krisis keuangan global dapat tercapai.

"Melalui pembentukan UU JPSK ini pemerintah bisa menyempurnakan kelembagaan sistem keuangan negara dalam menghadapi ancaman krisis keuangan global, akan tetapi masih butuh penguatan," kata Marwan kepada Antara di Gedung DPR, Jakarta, Senin.

Setidaknya ada tujuh penguatan yang harus dilakukan sebelum diusulkan, pertama, kata dia, mulai dari ruang lingkup JPSK yang dirasakan belum mengatur penanganan lembaga keuangan non bank dalam kondisi krisis.

Kedua, penetapan bank yang masuk Domestic Systematically Important Bank (DSIB) yang dilakukan dalam kondisi normal dan belum dijelaskan dalam kondisi tidak normal akan seperti apa. Ketiga, fungsi dan tugas KSSK yang menurutnya perlu pengaturan indikator dan parameter yang dijadikan rujukan oleh KSSK untuk menetapkan status stabilitas sistem keuangan.

"Hal ini sangat penting untuk dijadikan alasan mendasar bagi KSSK menetapkan kondisi krisis, sehingga tidak menjadi perdebatan ketika pemerintah mengambil langkah-langkah penyelesaian krisis ekonomi tadi ada usulan presiden sebagai penentu keputusan, bisa dipertimbangkan dan saya kira bisa lebih kuat jika begitu," katanya.

Keempat, mekanisme pengambilan keputusan dalam rapat KSSK yang dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat sehingga memungkinkan tidak diperolehnya keputusan jika tidak menghasilkan kata sepakat dari seluruh anggota KSSK.

"Oleh karena itu perlu ada formulasi baru dalam mekanisme pengambilan keputusan jika musyawarah dan mufakat tidak tercapai," ujarnya.

Kelima, penanganan permasalahan likuiditas Bank DSIB dengan adanya jaminan yang diberikan pemerintah atas Pinjaman Likuiditas Khusus (PLK) yang jatuh tempo saat Bank SIB tidak mampu melunasi PLK.

"Pasal ini memberikan peluang bagi para pemilik bank untuk melakukan moral hazard dengan berupaya untuk tidak melunasi PLK karena adanya jaminan dari pemerintah," katanya.

Keenam, terkait dengan status Badan Restrukturisasi Perbankan (BRP) yang dapat aktif dan non aktif, sehingga menurutnya bisa memberikan peluang lembaga ini tidak bekerja maksimal.

"Oleh karena itu status pembentukan Badan Restrukturisasi ini perlu dipertimbangkan apakah harus dibuat permanen atau hanya bersifat lembaga ad hok," katanya.

Ketujuh, masalah pendanaan yang menurutnya penggunaan dana APBN untuk penanganan kondisi tidak normal (krisis) perlu ada batasan maksimum demi menjaga stabilitas fiskal pemerintah dan keberlanjutan progam-progam kerja pemerintah.

Kendati demikian, dia menekankan pentingnya UU JPSK ini dikarenakan tidak menentunya kondisi keuangan global, terlebih dengan indikator pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ditargetkan 5,7 persen dalam APBNP 2015 dan baru terealisasi 4,67 persen dengan perkiraan capaian 5 persen pada akhir tahun 2015.

Selain itu target inflasi sebesar 5 persen yang sampai september masih 2,24, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang ditargetkan Rp12.500 dan sekarang sedang berada pada kisaran Rp13.400 mungkin pada akhir tahun Rp13.900 serta kondisi perbankan dimana cadangan devisa kita 101,72 miliar dolar AS dan suku bunga acuan BI sebesar 7,5 persen.

"Karenanya saya rasa ini perlu untuk ada regulasinya, namun harus diperkuat dengan melakukan perbaikan dalam poin-poin yang saya sampaikan tadi," ujarnya.

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015