Saya berhenti pergi ke masjid untuk beribadah karena banyak sekali pengeboman yang terjadi...."
Islamabad, Pakistan (ANTARA News) - Perasaan aman yang dapat dirasakan kembali ke Pakistan saat tindakan keras terhadap militansi berbuah hasil, tetapi kritikus memperingatkan pemerintah belum mengambil langkah jangka panjang untuk menghadapi kesulitan mendasar terkait gerilyawan Islam.

Kedamaian di Pakistan dan Afghanistan akan menjadi agenda utama di Washington pada Kamis ketika Perdana Menteri Nawaz Sharif menemui Presiden Amerika Serikat Barack Obama, lapor AFP.

Di tempat asalnya, serangan militer terhadap para pegaris keras dan "Rencana Tindakan Nasional" besar (NAP) untuk mengendalikan militansi telah menyebabkan penurunan tingkat serangan tahun ini. Sementara itu, putusan Mahkamah Agung baru-baru ini tentang penghujatan telah mendorong kalangan moderat bahwa pembentukannya bersedia untuk mengambil sikap terhadap intoleransi agama.

Rakyat Pakistan yang berani sekali lagi menghadiri pertemuan terbuka, berujung pada perayaan Hari Peringatan Kemerdekaan pada Agustus, yang dihadiri ribuan orang di Karachi -- tempat daerah-daerah "melarang masuk" Taliban baru-baru ini dibebaskan oleh polisi.

"Saat ini sangat damai," ujar seorang mekanik berusia 30 tahun, Mohammad Ameen kepada media.

"Sebelumnya, semuanya khawatir, takut... tapi sekarang keadaan telah berubah," tambahnya.

Keadaan mulai membaik sejak Juni tahun lalu ketika tentara meluncurkan perlawanan yang sudah dinantikan terhadap gerilyawan di wilayah suku Waziristan Utara.

Dan pada Desember, Islamabad meluncurkan rencana NAPnya di tengah gelombang kemarahan setelah kelompok pegaris keras Taliban membantai 154 orang di sekolah Peshawar, yang kebanyakan masih anak-anak.

Sebuah moratorium enam tahun terkait hukuman mati telah dicabut dan konstitusi diubah untuk mengizinkan pengadilan militer mengadili mereka yang dituduh melakukan serangan.

Sejauh ini, hasil gabungannya cukup persuasif: pada tahun 2013 terdapat 170 serangan yang dilaporkan membunuh 1.202 orang, sedangkan pada 2014 data menunjukkan angka 110 laporan serangan hingga menewaskan 644 orang, demikian menurut data AFP.

Jumlah keseluruhan ledakan sejauh tahun ini turun menjadi 36 kasus dengan 211 orang meninggal.

Penghargaan kepada para tentara bahkan telah memunculkan "tagar" berantai yang menyebut nama kepala militer, "ThankYouRaheelSharif.

Pada awal bulan ini, Mahkamah Agung Pakistan menjatuhkan hukuman mati kepada Mumtaz Qadri, yang dirayakan oleh para Islamis setelah ia membunuh seorang politisi yang menginginkan perubahan hukum penghujatan. Putusan itu disambut baik kalangan moderat, yang menganggapnya sebagai pukulan terhadap para pegaris keras agama.

Penghujatan adalah sebuah isu yang sangat sensitif di Pakistan, dan pengadilan sebelumnya mengadili dengan "keadaan takut", ujar ketua Komisi Hak Asasi Pakistan, Zohra Yusuf.

"Sekarang mereka dapat menentukan masalah tersebut tanpa adanya ketakutan," komentarnya.


Bersiap untuk Mati

Perubahan yang mungkin paling terlihat di bawah NAP adalah diberlakukannya kembali eksekusi, yang membuat negara menerapkan hukuman gantung.

Meskipun data resmi tidak tersedia, kelompok hak asasi dan perhitungan AFP memperkirakan bahwa sudah lebih dari 250 orang yang telah dieksekusi sejak Desember.

Tetapi kritikus mempertanyakan keberhasilan dari hukuman gantung itu. Seorang analis keamanan dan kolumnis terkemuka, Amir Rana, memperkirakan hanya 25 orang di antara mereka yang dijatuhi hukuman tersebut terbukti terlibat dalam dakwaan teror.

Bagaimanapun juga, penelitian yang dilakukan oleh Institut Studi Perdamaian Pakistan (PIPS) mengatakan bahwa kematian bukanlah sebuah ancaman bagi para gerilyawan.

"Banyak teroris ekstremis yang telah dihukum (mati) itu adalah orang-orang yang rela mati demi tujuan mereka," tulis penulis artikel tersebut, Najam U Din.

Analis telah mengutip satu aspek dalam daftar 20 butir agenda NAP yang bisa memberikan dampak lebih melalui aksi yang dilakukan pemerintah, yaitu sekolah-sekolah Islam Pakistan atau madrasah.

Dengan pengawasan minim terhadap apa yang diajarkan kepada anak-anak yang belajar di tempat tersebut dan tuduhan soal adanya pendanaan asing, ketakutan muncul di Peshawar bahwa beberapa di antaranya merupakan pusat tumbuhnya intoleransi atau bahkan ekstremisme.

Tetapi baru sedikit yang telah dilakukan, ujar analis keamanan Rana.

"Pemerintah tidak memiliki keberanian untuk membuat strategi permanen untuk mengendalikan sekolah-sekolah agama," ujarnya.

"Mereka khawatir kelompok religius akan keluar ke jalan-jalan dan akan melawan." Di Peshawar, tempat terjadinya serangan teror terburuk di Pakistan berupa pembantaian terhadap seisi sekolah, masyarakat saat ini menikmati hasil dari tindakan keras yang dilakukan, tetapi masih tetap waspada.

"Saya berhenti pergi ke masjid untuk beribadah karena banyak sekali pengeboman yang terjadi. Kini saya merasa aman dan dapat membawa keluarga dan anak-anak untuk pergi ke taman dan tempat piknik pada akhir minggu," ujar pedagang marmer Javed Ali.

"Sejak 2014 situasi telah membaik, tetapi saya tidak dapat mengatakan ini ideal," tambahnya.
(Uu.M038/T008)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015