Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional (SPN) Iwan Kusmawan menyatakan formula kenaikan upah minimum yang tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

"Formula kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Karena itu, kami menuntut pemerintah membatalkan PP Pengupahan," kata Iwan Kusmawan melalui siaran pers diterima di Jakarta, Selasa.

Iwan mengatakan dengan adanya formula berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, maka ketelibatan serikat pekerja dalam membahas kenaikan upah telah diberangus. Padahal, keterlibatan serikat pekerja sangat prinsip dalam pengambilan kebijakan terkait pengupahan.

Selain menuntut formula kenaikan upah berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi dibatalkan, Iwan juga menuntut agar komponen kebutuhan hidup layak (KHL) diubah dari hanya 60 butir menjadi 84 butir.

"Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 akan segera dimulai. Saat ini upah buruh Indonesia masih jauh di bawah Thailand, Filipina, Malaysia dan Singapura," tuturnya.

Sebagai bentuk penolakan, 10 ribu massa SPN afiliasi Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang terdiri dari pekerja tekstil, sepatu dan garmen melakukan aksi di Istana Presiden, Jakarta pada Selasa.

Buruh yang tergabung dalam Komite Aksi Upah memang merencanakan sejumlah aksi di Istana Presiden untuk menolak pemberlakuan PP Pengupahan.

Presiden KSPI Said Iqbal juga menolak pemberlakuan PP Pengupahan karena akan membuat buruh semakin menderita karena upah murah.

"Kami tetap menolak formula kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi dan produk domestik bruto (PDB) dan menuntut kenaikan upah minimum berkisar 22 persen hingga 25 persen," kata Said Iqbal.

Iqbal mengatakan alasan penolakan tersebut adalah karena undang-undang mengatur penetapan upah minimum dilakukan oleh kepala daerah berdasarkan rekomendasi dewan pengupahan yang terdiri atas perwakilan pengusaha, buruh dan pemerintah, baru kemudian mempertimbangkan faktor inflasi, pertumbuhan ekonomi dan regresi.

"Jadi bukan ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui PP tanpa dirundingkan dengan serikat pekerja. Dengan diberlakukannya PP ini, maka upah buruh akan naik paling tinggi hanya 10 persen dan berlaku selama puluhan tahun sehingga berdampak pada pemiskinan secara sistemik," tuturnya.

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015