Jakarta (ANTARA News) - KPK menilai terjadi pemberian suap yang masif kepada anggota DPRD Sumatera Utara dalam proses pengesahan Anggaran Pendapatan dan Pelanja Daerah pemerintah provinsi Sumut, persetujuan Laporan Pertanggungjawaban pemprov Sumut dan penolakan penggunaan hak interpelasi.

"(Suap dalam kasus) ini banyak sekali dan masif. Dilihat dari jumlah pelaku maupun jumlah dana, tapi untuk hal yang detail sekali belum bisa diungkapkan," kata pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Selasa.

Pada hari ini KPK mengumumkan 6 tersangka yang diduga sebagai pemberi dan penerima suap terkait pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Sumut, persetujuan Laporan Pertanggungjawaban Pemprov Sumut dan penolakan penggunaan hak interpelasi anggota DPRD Sumut.

Enam orang tersangka tersebut adalah Gubernur Sumut non-aktif Gatot Pujo Nugroho sebagai pemberi suap sedangkan penerima suap adalah Ketua DPRD Sumut periode 2014-2015 dari fraksi Partai Golkar Ajib Shah, Ketua DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 dan anggota DPRD Sumut 2014-2019 dari fraksi Partai Demokrat Saleh Bangun, Wakil ketua DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 dan anggota DPRD Sumut periode 2014-2019 dari fraksi Partai Golkar Chaidir Ritonga, Wakil Ketua DPRD Sumut periode 2009-2014 dari fraksi PAN Kamaludin Harahap dan Wakil Ketua DPRD Sumut periode 2009-2014 dari fraksi PKS Sigit Pramono Asri.

"Ada beberapa kali penerimaan, bukan hanya dilihat dari tahunnya saja, tapi bisa juga di bulan yang sama tapi beberapa kali pemberian," tambah Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi.

Modus pemberian yang dilakukan adalah menyuap anggota DPRD untuk meloloskan APBD atau laporan pertanggungjawaban pemprov Sumut.

"Misalnya ada pengajuan laporan pertanggunjawaban (LPJ) pemerintah provinsi Sumut, nah suap diberikan agar LPJ tersebut disetujui. Sedangkan dalam interpelasi, ada dugaan pemberian suap sehingga upaya interpelasi yang diajukan anggota DPRD ditolak," jelas Johan.

Menurut Indriyanto, kasus ini terungkap berdasarkan pengembangan kasus yang dilakukan KPK sebelumnya.

"Kasus ini merupakan proses pengembangan dari kasus suap kepada hakim dan panitera PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) Medan," kata Indriyanto.

Namun baik Johan maupun Indriyanto belum menyampaikan nilai suap yang diduga diberikan Gatot kepada para anggota DPRD Sumut tersebut.

"Mengenai pembagian suap masuk dalam strategi penyidikan dan tidak bisa diungkapkan sementara ini, dalam proses penuntutan di pengadilan nanti bisa dilihat bagaimana proses pemberian suap ini. Dalam tuntutan akan tergambar dugaan kelompok pemberi dan penerima," jelas Indriyanto.

Terkait pengakuan adanya anggota DPRD Sumut yang sudah mengembalikan uang suap, Johan juga mengatakan tidak dapat mengeneralisir bahwa mereka yang sudah mengembalikan akan terlpas dari jerat pidana.

"Kita lihat dulu proses penerimaan dan pengembalian itu, tidak bisa digeneralisir kalau orang menerima suap sudah ada sangkaan, kemudian sudah menyandang status tersangka dan uang dikembalikan ya tidak menghilangkan pidananya," ungkap Johan.

KPK menyangkakan Gatot dengan pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP," tambah Johan.

Pasal tersebut mengatur tentang perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 tahun paling lama 5 tahun dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Sedangkan Ajib, Saleh, Chaidir, Kamaludin dan Sigit dijerat dengan pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman terhadap pelanggar pasal tersebut adalah penjara paling sedikit 4 tahun dan paling lama 20 tahun penjara ditambah denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015