Ada banyak fakta dalam penegakan hukum di Indonesia kurang optimal lantaran hubungan antar lembaga hukum kurang sinergis, bahkan saling menyandera dan saling mengancam. Itulah yang menyulitkan dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum,"
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Arief Hidayat menengarahi Indonesia akan sulit mewujud sebagai negara hukum jika masing-masing orang dan lembaga saling menyandera satu sama lain.

"Ada banyak fakta dalam penegakan hukum di Indonesia kurang optimal lantaran hubungan antar lembaga hukum kurang sinergis, bahkan saling menyandera dan saling mengancam. Itulah yang menyulitkan dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum," kata Prof. Dr. Arief Hidayat dalam Kuliah Umum di Universitas Sahid Jakarta, Rabu malam.

Arief Hidayat yang juga Presiden Asosiasi Mahkamah Konstitusi ASEAN lebih jauh menegaskan, adanya fakta atas hubungan kurang sinergis itu terlihat pada Komnas HAM, DPR, Kejaksaan dan Presiden dalam penanganan kasus HAM berat, yaitu penghilangan nyawa orang secara paksa.

"Komnas HAM telah menyimpulkan adanya pelanggaran HAM berat. Demikian juga DPR juga menyimpulkan hal sama, bahkan menyarankan untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc. Namun Kejaksaan dan Presiden hingga kini belum ada yang bergerak karena tampaknya ada yang saling sandera," katanya.

Dalam acara yang dipandu Dr. Desi Sunarsih itu, Arief juga menyampaikan contoh tidak berjalannya koordinasi di antara sesama lembaga khususnya dalam penanganan masalah kejahatan ekonomi dan keuangan.

Dalam kasus pengungkapan mafia pajak, massa yang ditahan dan dikorbankan hanya seorang Gayus Tambunan pegawai berpangkat golongan III tanpa pejabat struktural. "Apakah iya, para pejabat tinggi di direktorat Pajak Departemen Keuangan tidak ada yang terlibat? Mengapa Kepolisian dan Kejaksaan dalam menangani masalah itu tampak pasif?" ujarnya dengan nada bertanya.

Sementara itu di tempat terpisah, Ketua Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) Dr. Laksanto Utomo mengatakan, sulitnya Indonesia mewujud sebagai negara hukum selain ada upaya saling menyandera antar lembaga, juga terjadi krisis etika dalam penegakan hukum.

Etika berbangsa dan bernegara oleh MPR telah dirumuskan lewat ketetapannya No. VI/MPR/2001, tetapi ketetapan itu tampaknya banyak dilupakan oleh para pejabat penegak hukum.

Hukum positif tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya karena dalam pelaksanaanya tidak mampu mengembangkan muatan etisnya. Padahal hukum tanpa etika tidak mungkin dapat tegak dan adil, kata Laksanto yang juga dekan Fakultas Hukum Sahid itu.

Ia juga menegaskan, etika politik dan pemerintahan mengandung misi yang diemban tiap pejabat, mereka harus bersikap jujur, amanah, positif dan siap melayani, juga harus mampu menjadi teladan bagi masyarakat luas.

Pewarta: Theo Yusuf
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015