Jakarta (ANTARA News) - Menteri Kesehatan Nila Djuwita F Moeloek mendatangi gedung KPK untuk membicarakan kerja sama pembangunan sistem gratifikasi dokter baik yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun non-PNS.

"Tahun 2014 ada permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan) yang mengatur gratifikasi, tapi tertera hanya pegawai rumah sakit vertikal atau PNS. Saya ke sini karena tentu (peraturan) itu tidak merata. Seharusnya keseluruhan, jadi dokternya kami kaitkan dengan IDI. Tentu gratifikasi harus kita atur, makanya saya ingin penjelasan KPK apa itu gratifikasi, sampai batas mana. Kita juga ingin bangun sistem," kata Nila di gedung KPK Jakarta, Jumat.

Nina Moeloek bertemu dengan pelaksana tugas (plt) Pimpinan KPK Taufiequrrachman Ruki, Indriyanto Seno Adji dan Johan Budi.

"Saya kira waktu sekarang diperbaiki. Mari kita perbaiki termasuk hal hal yang dikaitkan dengan dunia kesehatan. Sebetulnya apa yang disebut gratifikasi kemudian kita uraikan kembali sampai mana aturannya dan kepada siapa saja. Kami sudah membuat kajiannya dan sudah ada dan akan kita benahi. Saya tentu harus bijak dalam hal ini, bijak untuk dokter, bijak untuk masyarakat, bijak untuk keseluruhan," tambah Nila.

Namun terkait dokter yang menerima gratifikasi, Nila mengatakan pihak yang berwenang untuk mengadili adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

"Nanti kami serahkan ke IDI karena di IDI ada majelis kedokteran, tapi kami (Nila dan pimpinan KPK) tidak membicarakan kasus-kasus isuistik kami membicarakan bagaimana membangun sistem. Kita selalu ingin memperbaiki sistem yang kita buat dapat diimplementasikan dengan baik," ungkap Nila.

Gratifikasi tersebut menurut Nila juga bukan penyebab satu-satunya mahalnya harga obat.

"Tidak selalu obat mahal karena biaya produksi. Obat kita masih banyak bahan baku yang diimpor. Dengan dolar naik maka biaya bahan bakunya naik. Tentu ada dana marketing dan promosi, tapi kalau melewati dana promosi makanya inilah..," tambah Nila.

Sedangkan Johan mengatakan bahwa bahwa KPK hanya bisa menangani gratifikasi untuk dokter berstatus PNS.

"Kalau di KPK itu kewenangannya hanya masuk kalau dokter itu berstatus pegawai negeri. Jadi definisi pegawai negeri kan luas, diluar itu KPK tidak masuk. KPK tidak bisa menjangkau. Jadi ada pemikiran bagaimana yang bekerja itu di swasta juga, nah kita diskusi soal itu," kata Johan.

KPK menurut Johan juga sedang membuat kajian mengenai gratifikasi dokter dan etika terkait penggunaan obat.

"KPK sebenarnya sekarang sedang melakukan kajian terkait hal itu tapi belum selesai. Pemakaian obat di RS maupun klinik-klinik berkaitan dgn profesi dokter, sedang dikaji, tentu kajian ini berkaitan dgn gratifikasi. Lagipula dokter itu terikat dengan kode etik, dia punya etika, jadi ini juga masih dalam pembahasan. Di Kemenkes sendiri sudah ada Unit Pengendali Gratifikasi," ungkap Johan.

Ketua IDI Zinal Abidin mengatakan bahwa dalam kode etik kedokteran sudah disebutkan bahwa dokter atau institusi kesehatan yaitu IDI boleh mendapatkan sponsor dari perusahaan farmasi. "Perusahaan farmasi juga boleh memberikan, misalnya ke dokter membuat sebuah penelitian, dokter itu boleh mengajukan proposal ke perusahaan farmasi untuk mensponsori, asal tidak menggunakan untuk yang lain. Dokter dalam mengikuti simposium, seminar, dalam kode etik diperbolehkan mendapatkan sponsor dari perusahaan farmasi dengan batas-batas tertentu misalnya hanya boleh transportasi, tiket misalnya untuk kelas ekonomi," kata Zainal.

Namun kelas hotel sudah ditentukan, bila dokter tersebut hanya peserta biasa pun tidak boleh mendapat honorarium namun bila sebagai pembicara maka dibolehkan mendapat honorarium dengan batas tertentu.

"Tapi kami tidak tahu yang sekarang ini seperti apa. Setiap perusahaan farmasi memberi, ada buktinya. Kita tidak tahu diberikannya dalam rangka apa. Hanya secara etik tidak boleh. Tidak boleh ada kontrak antara dokter dan perusahaan. Ada sanksi etik," ungkap Zainal.

Sanksi yang diberikan hanyalah berupa teguran dan pengucilan dari kelompok dokternya.

"Kalau pencabutan (praktek) itu harus Menteri Kesehatan," tambah Zainal.

Sehingga menurut Zainal, mahalnya harga obat saat ini juga bukan disebabkan karena pemberian-pemberian kepada dokter.

"Harga obat itu memang sudah mahal, bahan bakunya itu sangat mahal, dari luar negeri pakai dolar. Kedua, ada namanya rantai distribusi, setiap dia singgah sampai ke apotik itu kenaikannya bisa sampai 20-30 persen," jelas Zainal.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015