Denhaag (ANTARA News) - Ahli senjata kimia menyatakan bahwa gas mustar digunakan di kota tempat pemberontak Negara Islam (Islamic State of Iraq and Syria/ISIS) memerangi kelompok lain di Suriah menurut laporan badan pengawas internasional yang dilihat kantor berita Reuters.

Ringkasan laporan rahasia Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons/OPCW) tanggal 29 Oktober yang diperlihatkan kepada Reuters menyimpulkan "dengan keyakinan penuh bahwa setidaknya dua orang terpapar sulfur mustar" di Kota Marea, utara Aleppo, pada 21 Agustus 2015.

"Sangat mungkin efek sulfur mustar yang menyebabkan kematian bayi," kata lembaga tersebut.

Temuan itu memberikan konfirmasi pertama penggunaan sulfur mustar, yang secara umum dikenal sebagai gas mustar, di Suriah sejak persetujuan pemusnahan simpanan senjata kimia, termasuk mustar.

Laporan tersebut tidak menyebut ISIS, karena pencari bukti itu tidak mendapatkan mandat untuk menyalahkan, namun sumber diplomatik mengatakan senjata kimia digunakan dalam bentrok Negara Islam dengan kelompok pemberontak lain di tempat dan waktu sama.

"Ini menimbulkan pertanyaan besar dari mana gas mustar itu didapat," kata seorang sumber.

"Apakah mereka (ISIS) mampu membuatnya sendiri atau berasal dari persediaan yang tidak diketahui yang diambil alih oleh ISIS. Kedua opsi tersebut mengkhawatirkan."

Suriah seharusnya sudah menyerahkan seluruh racun kimia 18 tahun lalu. Penggunaan bahan-bahan itu melanggar resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Konvensi Senjata Kimia 1997.

Laporan OPCW, yang secara formal akan disampaikan ke Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon akhir bulan ini, menambah bukti bahwa kelompok Negara Islam memiliki dan menggunakan senjata kimia di Irak dan Suriah.

Otoritas Kurdi awal bulan ini mengatakan bahwa milisi Negara Islam menembakkan mortir yang mengandung gas mustar ke pejuang Peshmerga Kurdi di Irak utara sepanjang pertempuran Agustus.

Mereka mengatakan sampel darah diambil dari 35 pejuang yang terpapar gas tersebut dari serangan di barat daya wilayah ibu kota Erbil menunjukkan "tanda" gas mustar.


Pembahasan Khusus

Tim ahli OPCW dikirim ke Irak untuk mengonfirmasi temuan tersebut dan diharapkan mengambil sampel tersendiri akhir bulan ini, kata seorang diplomat.

Pembahasan khusus akan digelar di Den Haag pada 23 November 2015 oleh 41 anggota Dewan Eksekutif OPCW untuk membicarakan temuan di Suriah itu, kata sumber OPCW kepada Reuters.

Sulfur mustar, yang dapat menyebabkan mata, kulit, dan paru-paru terbakar dan juga bisa disebut senyawa kimia Schedule 1, yang berarti hanya bisa digunakan untuk beberapa keperluan di luar peperangan.

Laporan kedua misi penemuan fakta OPCW terhadap Suriah menyebutkan tim sejauh ini belum bisa membuktikan klaim pemerintah Suriah yang menjadi target pemberontak yang menggunakan senjata kimia.

Misi tersebut "tidak menentukan apakah bahan kimia digunakan sebagai senjata" oleh pemberontak di Jober pada 29 Agustus 201 menurut laporan itu.

Pada September 2013, Suriah setuju memusnahkan seluruh program senjata kimia di bawah kesepakatan yang dirundingkan Amerika Serikat dan Rusia setelah ratusan orang terbunuh akibat serangan gas sarin di pinggiran ibu kota Damaskus.

Terakhir, 1.300 ton senjata yang disampaikan ke OPCW telah diambil alih pada Juni 2014, namun beberapa negara Barat menyatakan keraguan bahwa pemerintahan Presiden Bashar al-Assad mengumumkan seluruh gudang senjatanya.

Dengan perang sipil Suriah selama lima tahun, klorin juga digunakan secara ilegal dalam serangan sistematis ke penduduk sipil menurut temuan OPCW.

Di Provinsi Idlib, selatan Aleppo, menurut laporan tersebut ada beberapa insiden antara Maret dan Mei 2015 yang "mungkin terlibat dalam penggunaan satu atau lebih racun kimia".

Penyelidikan bersama OPCW dan Perserikatan Bangsa-Bangsa ditugaskan untuk mengungkap siapa di balik serangan menggunakan senjata kimia tersebut, demikian seperti dilansir kantor berita Reuters.(Uu.M038)

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015