Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah mengakui bahwa keputusan untuk mengimpor beras yang akan digunakan memperkuat stok sedikit terlambat, sehingga menyebabkan minimnya pasokan dari negara pengekspor seperti Vietnam dan Thailand.

"Sayangnya kita cenderung sedikit terlambat soal impor beras. Karena kita menunda, akhirnya Filipina yang masuk terlebih dahulu dan membeli dalam volume besar," kata Menteri Perdagangan Thomas Lembong, saat berdiskusi dengan wartawan di Jakarta, Rabu.

Thomas yang kerap disapa Tom itu mengatakan, akibat dari terlambatnya antisipasi pemerintah tersebut maka stok beras yang ada di negara pengekspor sudah menipis karena Filipina telah melakukan pembelian dalam jumlah yang cukup besar dan harga beras mengalami kenaikan.

"Akhirnya, kita kebagian stoknya kecil dan yang kedua harganya sudah naik. Saat sepakat harga sudah berada di atas 400 dolar AS per ton. Jadi keterlambatan tersebut berdampak kepada stok dan harga yang kita dapat," kata Tom.

Tom menjelaskan, sebelum Indonesia pada akhirnya memutuskan untuk mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand, Filipina telah melakukan pembelian sebanyak 1,5 juta ton. Angka tersebut mengalami lonjakan yang cukup tinggi, dimana pada kondisi normal impor beras Filipina hanya sebesar 500-700 ribu ton.

"Tahun ini dia (Filipina) mengagetkan pasar dengan membeli 1,5 juta ton, dan mendahului kita. Terus terang pada saat saya mendampingi Perum Bulog untuk bertemu dengan Thailand dan Vietnam, kita hanya kebagian sisanya saja," ujar Tom.

Sejauh ini, lanjut Tom, dari rencana pemerintah untuk mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton hingga akhir tahun tersebut, baru sebanyak satu juta ton yang bisa dipenuhi dari Thailand dan Vietnam. Untuk memenuhi target 1,5 juta ton tersebut akan sulit tercapai, mengingat Myanmar dan Kamboja juga tidak memiliki stok untuk ekspor.

Menurut Tom, pemerintah saat ini tengah mengambil opsi untuk mendatangkan beras dari negara lain seperti Pakistan dan Brazil, guna memenuhi kuota sebanyak 1,5 juta ton.

"Kami mencoba melihat apakah bisa mengambil (impor) dari Pakistan, bahkan bila perlu dari Brazil, karena ini posisi di akhir tahun. Tapi kita juga harus bersiap untuk perencanaan tahun depan," kata Tom.

Tom menjelaskan, berdasarkan perhitungan pemerintah yang telah diungkapkan, jika ada keterlambatan atau pergeseran masa panen selama satu bulan akibat El Nino, maka akan mengakibatkan kosongnya pasokan kurang lebih sebesar 2,5 juta ton.

"Sudah dijelaskan oleh Menko Darmin, akibat El Nino, panen bergeser satu bulan itu mengakibatkan vacum 2,5 juta ton. Tentu kita harapkan musim hujan berlangsung normal, namun jika memang terjadi kita juga sudah harus siap," kata Tom.

Tom mengatakan, dirinya mengakui bahwa saat ini sudah ada kecenderungan kenaikan harga beras kualitas medium di pasar. Dengan kenaikan harga tersebut, mencerminkan kondisi pasar, dimana jika stok menipis pasar akan merespon dengan kenaikan harga, namun jika stok memadai maka harga akan mengalami penurunan.

"Kami sangat menyadari bahwa beberapa hari terakhir khususnya untuk beras kualitas medium cenderung mengalami kenaikan yang cukup kuat. Harga mencerminkan psikologi pasar. Jika stok menipis pasar menjadi gelisah, sementara jika stok memadai harga akan turun," ujar Tom.

Sementara berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan, pada Rabu (11/11), harga rata-rata nasional beras kualitas medium sebesar Rp10.472,01 per kilogram, atau mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan harga pekan lalu yang tercatat sebesar Rp10.444,66 per kilogram.

Kenaikan harga beras, berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), pada Oktober 2015, rata-rata harga beras kualitas medium di tingkat penggilingan mengalami kenaikan sebesar 0,24 persen, menjadi sebesar Rp8.960,96 per kilogram dimana tercatat pada September 2015 lalu sebesar Rp8.939,61 per kilogram.

Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015