Brussels (ANTARA News) - Disebut "tempat pengembangbiakkan kekerasan" oleh wali kotanya, Molenbeek juga disebut distrik di Brussels, ibu kota Belgia, yang paling tinggi tingkat penganggurannya dan paliang disesaki para keluarga imigran Arab, serta menjadi tempat anak-anak muda yang putus asa berkenalan dengan Islam radikal.

Namun begitu distrik di Brussels di sisi salah dari kanal pasca revolusi industri di kota itu kini menjadi fokus polisi dalam memburu orang-orang yang berada di balik serangan teror di Paris Jumat malam lalu, pihak berwenang Belgia mulai bertanya apa yang membuat Molenbeek yang berjalan sempit berteras itu berbeda dari ribuan lingkungan serupa di seluruh penjuru Eropa.

Tiga tema muncul begitu Molenbeek kembali menjadi sorotan terhadap kekerasan islamis, rumah tidak hanya untuk para militan di antara setengah juta penduduk muslim Belgia, namun juga untuk para radikal dari Prancis yang mengasingkan diri untuk bersembungi, bersiasat dan mempersenjatai diri sebelum menyerang tanah airnya di luar perbatasan.

Ketiga tema itu adalah pihak berwenang menghadapi kesulitan karena terbelahnya penduduk lokal Belgia sendiri ke dalam mereka yang berbahasa ibu Prancis dan mereka yang berbahasa ibu Belanda; negara ini terkenal terbuka untu para pendakwah fundamentalis dari negara-negara Teluk; dan menjadi pasar gelap senjata otomatis yang digunakan dalam serangan teror di Paris.

"Hanya dengan 500-1.000 euro Anda bisa mendapatkan senjata dalam hitungan setengah jam," kata Bilal Benyaich, peneliti senior pada lembaga think-tank Itinera Institute, Belgia, yang meneliti penyebaran Islam radikal di Belgia.  "Membuat Brussels kelihatan seperti sebuah kota besar AS di Eropa yang umumnya bebas senjata api."

Dua dari penyerang yang membunuh sekitar 130 orang di Paris Jumat malam itu adalah warga Prancis yang tinggal di Belgia yang jaraknya 270 km dari Paris.

Polisi Belgia menggeledah beberapa alamat di Molenbeek hingga tujuh orang ditahan di Belgia menyusul serangan teror ke Paris itu.

"Hampir setiap waktu, ada kaitan ke Molenbeek," kata Perdana Menteri Charles Michel yang berusia 39 tahun dan beraliran tengah, yang koalisinya  tengah memerangi para perektur kaum radikal yang berhasil membujuk lebih dari 350 warga Belgia untuk berperang di Suriah. Angka ini memang sangat kecil dibandingkan dengan 11 juta penduduk Belgia, namun angka itu menjadikan Belgia menjadi pengirim relawan terbesar ke Suriah dari Eropa.

Langkah-langkah preventif dalam beberapa bulan terakhir tidaklah cukup, kata Michel seraya menggambarkan Molenbeek sebagai "masalah raksasa". "Harus ada lebih banyak lagi penumpasan," sambung Michel.

Menteri dalam negeri Belgia Jan Jambon bersumpah untuk membersihkan distrik itu, namun kubu konservatif menyoroti lemahnya pengawasan oleh pemerintahan sayap kiri, selain juga saling lempar tanggung jawab antara warga Flanders (Belgia utara) yang berbahasa Belanda dengan warga Brussels dan wilayah selatan Belgia yang umumnya berbahasa Prancis, mengenai siapa yang telah berbuat lebih dalam mengendalikan para radikal.

Perbedaan yang diterjemahkan menjadi pembagian tugas pemerintahan dan kebijakan dalam meredakan kekuatan-kekuatan yang sejak lama mengancam persatuan Belgia, telah membuat dinas intelijen dan keamanan kesulitan bergerak.

Jambon sendiri mengeluhkan pembagian pasukan polisi berdasarkan negara bagian dan dan bahasa, termasuk enam pasukan di Brussels, padahal penduduknya hanya 1,8 juta orang.

Polisi kurang cengkeramannya

"Belgia adalah negara federal dan itu menguntungkan teroris," kata Edwin Bakker, profesor pada Pusat Terorisme dan Kontraterorisme, Universitas Leiden di Belanda. "Karena beberapa lapisan pemerintah menghambat arus informasi di antara para penyidik."

Seraya membandingkan Belgia dengan negara tetangganya Belanda, dia menambahkan, keadaan itu membuat kelompok-kelompok militan menjadi sulit dipantau Belgia.

Karena sulitnya mengumpulkan informasi intelijen dari tempat-tempat seperti Molenbeek, borough (sektor) berpenduduk 90.000 orang yang beberapa kampungnya dihuni oleh 80 persen warga muslim, setiap kesenjangan dalam rantai informasi pasti akan bermasalah.

"Di beberapa bagian Brussels ada wilayah di mana polisi kurang berkuasa, yakni daerah-daerah yang sangat terpisah yang merasa bukan bagian Negara Belgia," kata Bakker.

"Pada kasus semacam itu sulit sekali mendapatkan umpan balik dari masyarakat. Itu artinya ketika tetangga melihat sesuatu, maka mereka tidak akan melaporkannya ke polisi. Itu menjadi sangat menyulitkan dinas intelijen karena merekalah satu-satunya andalan mengingat polisi setempat tak bisa diandalkan."

Yang juga memperkeruh masalah adalah lambatnya UU baru diundangkan, contohnya hukum menyangkut dakwah bernada kebencian di mesjid-mesjid atau rekrutmen untuk perang Suriah.

Molenbeek adalah salah satu kawasan yang paling miskin di Eropa barat daya. Tingkat pengangguran di sini mencapai 25 persen --pada kalangan muda bahkan 37 persen-- jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tempat-tempat lain di Brussels yang juga menjadi tempat bagi kelas menengah kosmopolitan yang berkembang karena dorongan lembaga-lembaga Uni Eropa di sisi lain kota ini.

Para pejabat Belgia juga semakin memprihatinkan pengaruh versi radikal Islam, kendati mereka sangat minoritas. Eksekutif Muslim Belgia sendiri, payung organisasi kelompok muslim, menyuarakan dukungannya pada nilai-nilai demokrasi dan mengutuk barbarisme.

Basis fundamentalis

Molenbeek, yang pada 2012 dilanda demonstrasi menentang UU larangan memakai hijab di Belgia, telah menjadi tempat berkembangnya para pendakwah fundamentalis.

George Dallemagne, anggota parlemen federal dari kubu oposisi tengah-kanan, menjejak pangkal masalah itu ke era 1970-an ketika Belgia yang merupakan negara industri tetapi miskin sumber daya, berusaha memikat Arab Saudi dengan menyediakan mesjid-mesjid dengan para pendakwah berasal dari lulusan Teluk.

Para pendakwah didikan Teluk ini menyebarkan ajaran-ajaran fundamentalis yang kemudian mengasingkan sebagian besar imigran muslim Maroko di Belgia.

Menunjuk Molenbeek, Dallemagne berkata, "Pengaruh paling kuat dari kaum Salafi ini menjadi salah satu yang istimewa yang menempatkan Belgia pada pusat terorisme di Eropa saat ini."

Molenbeek bukan satu-satunya di Belgia. Kelompok radikal terkenal yang diciduk negara ini adalah sharia4belgium, sebuah organisasi aktif di media sosial yang pemimpin dan lusinan anggotanya awal tahun ini di kota warga Flemish (Belgia berbahasa Belanda), Antwerp, telah meyakinkan sejumlah orang untuk ikut berperang di Suriah.

Namun, seperti disebutkan PM Michel, koneksi Molenbeek selalu ada pada hampir semua serangan kaum islamis sejak lama, termasuk dalam serangan bom di Madrid pada 2004 di mana salah seorang perencan serangana adalah seorang keturunan Maroko asal Molenbeek.

Lebih dari setahun silam, gambaran itu terulang.

Pada Agustus 2014, seorang warga Prancis keturunan Aljazair tinggal di sana ketika dia menembak mati empat orang di Museum Yahudi, Brussels.

Pada Januari, ketika polisi Belgia membunuh dua pria di kota Verviers di timur Belgia saat membongkar apa yang mereka sebuat komplotan penculik dan pemenggal seorang polisi, kebanyakan anggota komplotan ini berasal dari Molenbeek.

Polisi Prancis yang menyelidiki penembakan Januari silam ke majalah terbitan Paris, Charlie Hebdo, dan sebuah toko swalayan Yahudi, menyatakan salah seorang dari para pembunuh itu mendapatkan senjata di Molenbeek.

Demikian juga dengan orang Maroko yang bertempat tinggal di Spanyol yang dilumpuhkan di sebuah kereta rute Brussels-Paris, Agustus silam. Dia memiliki sebuah senapan AK-47 dan 300 butir lebih peluru.

"Pangkalan udara" militan

"Molenbeek adalah pitstop (persinggahan) untuk para radikal dan penjahat dari semua jenis," kata Benyaich dari Itinera Institute. "Ini tempat di mana Anda bisa menghilangkan diri."

Dallemagne menambahkan, "Teroris teradikalisasi di Prancis, pergi ke Suriah untuk berperang dan ketika pulang mereka mendapatkan dukungan logistik di Molenbeek dan jejaring yang mereka butuhkan untuk melancarkan serangan teror, baik di sini di Belgia maupun di luar negeri. Kota ini seperti pangkalan udara untuk kaum jihadis."

Salah satu daya tarik terbesarnya, kata para penyidik, adalah senjata.

Pada masa sebelum 2006 manakala Belgia yang BUMN-nya produsen pistol FN Herstal memasok militer seluruh dunia, negara ini menerapkan pendekatan yang lembut dalam hal kepemilikan senjata.

"Dengan koneksi yang tepat, sangat mudah mendapatkan senjata ilegal di Belgia," kata Nils Duquet, peneliti pada Institut Perdamaian Flemish.

Duquet menyambung, "Para penjahat bisa datang ke sini untuk membeli senjata secara legal. Dan mereka tetap datang karena mereka menemukan jejaring dan orang yang tepat di sini untuk mendapatkan senjata, bahkan setelah 2006."

Senapan serbu Kalashnikov adalah jenis yang digunakan dalam serangan di Paris Januari silam dan serangan Jumat malam pekan lalu, yang kebanyakan berasal dari sisa perang Yugoslavia dan kebanyakan sampai di Eropa barat setelah diselundupkan di belakang mobil, kata dia.

Para penyidik tengah menyelidiki kaitan antara serangan Paris dengan seorang pria dari Montenegro yang ditahan karena mengangkut banyak senjata di Jerman bulan ini, sedangkan para menteri dalam negeri Uni Eropa akan menggelar rapat darurat di Brussels Jumat pekan ini atas permintaan Prancis untuk membahas lagi keprihatinan lama mereka menyangkut lalu lintas senjata.

Namun, seperti halnya kurang berkoordinasinya antar 28 anggota Uni Eropa yang dianggap sebagai penyebab menjamurnya perdagangan senjata di sekitar perbatasan mereka yang terbuka, bentuk ekstrem pemerintahan terdesentralisasi Belgia telah menyulitkan pemberantasan perdagangan senjata di negeri sekecil Belgia.

"Di Belgia, ada masalah pada manajemen data. Tak ada yang tahu berapa banyak senjata ilegal yang berada di Belgia," kata Duquet.

sumber: Reuters

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015