Masa-masa dalam gemblengan kiai dan ustaz untuk menguasai ilmu agama dan ilmu kehidupan tidak jarang menggoreskan cerita suka duka yang tentunya berbeda dengan suka duka di tempat lain.

Duka sebagai pelengkap suka dalam gabungan kata "suka duka" di pesantren boleh jadi hanya istilah yang dipaksakan karena sejatinya tidak betul-betul sebagai kedukaan.

Dalam menjalani kegiatan yang selalu bersama-sama, alam bawah sadar santri akan mudah berkompromi dengan keadaan.

Bangun di pagi buta, beraktivitas seharian penuh dan baru istirahat pada pukul 21.00 adalah ritual rutin santri yang tidak "afdal" (lebih utama) jika hanya disebut duka, tanpa kata "suka".

Barangkali ini satu bingkai dengan istilah dalam roman picisan, yakni kata "benci" selalu disandingkan dengan kata "tapi rindu".

Kenangan tempaan yang kemudian menjadi cerita indah itu tampak dalam antologi puisi "Wasiat Debu" ini. Antologi yang berisi 42 puisi itu merupakan karya 24 santri dan alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.

Membaca puisi yang antara lain ditulis oleh KHR Ahmad Azaim Ibrahimy, pengasuh Pondok Pesantren Sukorejo, seperti mendengarkan cerita mengenai keping-keping rindu suasana masa lalu santri di lingkungan pondok, atau dengan para ustadz dan pengasuh.

Puisi-puisi itu berkisah tentang masa lalu, masa kini dan harapan kelak terhadap lembaga pendidikan tradisional di lingkungan masyarakat Nahdlatul Ulama itu.

Samsul Bahri, alumni asal Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, dalam puisinya "Pulang ke Asembagus" menggambarkan betapa urusan tidur adalah sesuatu yang begitu mahal buat santri.

Ia lantunkan kisah ini dalam penggalan puisi masih bergelimpangannya santri di emperan masjid selepas subuh. Atau, mungkin suara kaleng bekas yang dipukul petugas untuk membangunkan santri yang sedang asyik masyuk dengan bantal lantai atau lengannya sendiri.

Atau bunyi lonceng besi yang dipukul setiap masuk waktu tertentu yang suaranya sangat memekakkan telinga oleh Kiai Sakri. Kiai Sakri sudah almarhum dan rutinitas malam di depan kediaman pengasuh itu dilanjutkan oleh anaknya.

Tidak hanya pada guru karena sudah banyak yang bergelar almarhum. Samsul juga merindui hal-hal remeh, namun memiliki keakraban luar biasa bagi sesama santri.

Rindunya pada dapur umum di utara kampus harus pupus selamanya karena lokasi itu sudah tergusur. /Santri lebih suka membeli daripada memasak sendiri / Hilanglah sudah satu model keguyuban unik ala anak pondokan / Menanak bersama dan makan bersama dalam satu nampan/.

Zainul Walid, kurator dalam antologi ini, menumpahkan atau menemukan rindu masa lalu pada bening mata Kiai Azaim Ibrahimy dalam puisi karyanya bertajuk "Berlayar di Bening Matamu".

/Berlayar di bulu-bulu lentik matamu / aku ingin bertemu lelaku tua / yang disegani presiden dan aparatur negara / dihormati ulama dan lain agama / yang masuk istana bersarung saja/.

Penggalan puisi itu menggambarkan, penulis merindukan KHR Asad Syamsul Arifin, pengasuh periode kedua Pesantren Sukorejo. Kiai Asad selain dihormati santri dan masyarakat, juga disegani para pejabat, bahkan hingga presiden serta petinggi ABRI (kini TNI) kala itu.

Ziyadatul Khairoh dalam puisinya "Kita Hanyalah", dengan apik memotret perjalanan santri dari masuk pesantren hingga kemudian berstatus sebagai alumni. Baginya santri hanyalah rongsokan yang diangkut truk masa lalu kemudian "disulap" menjadi sesuatu yang bernilai.

/Botol kaleng bekas / Simsalabim menjadi cawan dahaga / Besi-besi karat / Simsalabim menjadi katrol pengangkat, Beling-beling tajam / Simsalabim menjadi dingin pualam. Kita hanyalah sampah / Yang mudah busuk / Diangkut kemari ke tempat ini / Digiling halus sampai cacah / Dalam perut sapi / Simsalabim / Lalu kita menjadi pupuk / Untuk menyuburkan bumi/.

Kiai Azaim Ibrahimy, generasi keempat pengasuh Pondok Pesantren Sukorejo, juga memiliki kenangan tersendiri atas pesantren yang pernah ditinggalkannya selama mondok di sejumlah tempat, termasuk di Mekkah.

Bukan hal yang baru kalau cucu Kiai Asad Syamsul Arifin ini juga dikenal sebagai penyair. Penyair terkemuka asal Madura KH D Zawawi Imron mengakui bahwa Kiai Asad sendiri adalah penyair yang banyak menelorkan karya dalam bahasa Madura.

Kiai Azaim menyumbangkan dua puisi dalam antologi yang diluncurkan pada Jumat (13/11) malam itu. Ulama yang memiliki nama pena W. A. A. Ibrahimy menulis puisi berjudul "Bila Dahulu, Maka Kini...." dan "Sukorejo Adalah...".

Ia menganggap Sukorejo, sebutan populer untuk Pesantren Salafiyah Syafiiyah, sebagai ibu sekaligus ayah baginya. Sukorejo, dalam "Sukorejo Adalah...", dianggapnya sebagai ibu yang melahirkan dan memberi kasih sayang sekaligus mengajarkan alif ba ta.

Sukorejo adalah ayah yang menanamkan benih iman, mengajarkan ketabahan dan cermin keteladanan. Sukorejo juga identik dengan para pengasuh pendahulu, yakni Kiai Syamsul Arifin (buyut), Kiai Asad (mbah) dan Kiai Fawaid (paman sekaligus mertua).

Demikianlah kepingan-kepingan rindu para santri pada Sukorejo yang keberadaannya memiliki makna sebagai wasiat debu. Wasiat, kata Zainul Walid, bermakna pesantren sebagai pusaka. Pesantren dan ajarannya harus selalu dipelihara, di manapun para santri dan alumni berkiprah.

"Mungkin setelah keluar dari pondok ada alumni yang meninggalkan tradisi pesantren, kami ajak kembali ke aura dan kebiasaan pesantren. Bukan hanya untuk para penulis puisi, tapi untuk semua alumni dan umat," ucap lelaki asal Sumenep, Madura, ini.

Sementara debu, katanya, adalah alat penyuci yang istimewa dalam Islam. Kalau tidak ada air, maka gantinya bersuci adalah debu. Demikian juga kalau kita terkena najis besar, maka penyucinya adalah air dicampur debu.

"Mungkin selama ini kita melakukan najis besar kepada pesantren, maka kami ajak untuk bersuci kembali. Misalnya karena keadaan, kita cangkolang (tidak sopan) kepada guru, maka kita ingatkan kembali mengenai adab dalam berguru. Demikian juga dengan najis-najis lainnya, misalnya karena politik atau karena lainnya," tuturnya.

Oleh Masuki M. Astro
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015