Jakarta (ANTARA News) - Dalam menghadapi persaingan global, Indonesia tak boleh hanya bergantung pada keberadaan industri padat karya yang selama ini selalu diandalkan karena menyerap banyak tenaga kerja dalam jumlah besar.

Ke depannya, Indonesia harus mulai berorientasi membentuk industri-industri yang bersifat padat teknologi dengan didukung oleh kemampuan tenaga kerja yang terampil, ahli dan bersertifikasi kompetensi kerja.

“Untuk mendorong industri nasional yang kompetitif dan berdaya saing tinggi, Indonesia harus mulai berorientasi membangun industri nasional yang padat teknologi di berbagai wilayah Indonesia,” kata Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri di Jakarta pada Rabu (18/11).

Menaker Hanif mengatakan dalam membangun industri padat teknologi di Indonesia memang memilki tantangan tersendiri. Hal ini terkait ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas dan jumlah angkatan kerja nasional yang besar jumlahnya dan  butuh penyerapan lapangan kerja.

“Bila ingin orientasinya industri nasional yang kompetitif, kita butuh industri padat teknologi. Cuma masalahnya bagaimana dengan SDM kita? Bagaimana juga agar jumlah maupun kualitas dari industri padat teknologi paralel dengan jumlah angkatan kerja kita secara nasional. Ini menjadi tantangan,” kata Hanif.

Hanif memberikan contoh, di suatu daerah ada suatu pabrik yang merekrut seribu orang. Lalu ada pengangguran seribu orang juga. Sebagai solusinya, logika paling sederhana adalah membangun satu pabrik lagi yang bisa merekrut seribu orang.

“Tapi kalau kita membangun satu pabrik lagi itu artinya yang dibangun adalah industri padat karya. Saya berpikir, kalo modelnya seperti itu, industrinya tetap tidak akan kompetitif dalam persaingan global,” kata Hanif.

“Sebagai solusi  mestinya yang harus kita bangun adalah industri padat teknologi yang kompetitif dan bisa menyerap seribu tenaga kerja juga. Yang kita perlukan adalah lima industri yang padat teknologi, yang sangat efisien, yang masing-masing industrinya ini menyerap 200 orang,” kata Hanif

“Jadi jika 200 kali lima kan jadinya kan seribu juga. Dengan begitu penyerapan lapangan kerja tetap dapat tapi dari segi kompetitifnya dari industri juga dapat sehingga bisa tetap bertahan dan maju dalam era MEA dan persaingan global,” kata Hanif.

Problema pendidikan

Dalam kesempatan itu, Hanif pun menyoroti  mutu angkatan kerja Indonesia yang masih memprihatinkan. Postur angkatan kerja  yang didominasi lulusan SMP ke bawah menjadi problema dalam membangun industri yang kompetitif

"Tapi kalau kita menunggu naikknya tarap pendidikan angkatan kerja kita butuh waktu lama. Kita ini perlu bekerja sama antara pemerintah, dunia usaha, pekerja. untuk  mendorong kualitas SDM agar naik. Makanya saya selalu berbicara mengenai pentingnya peningkatan kompetensi,” kata Hanif.

“Jadi kita ini gak bisa lagi melulu mengandalkan pendidikan formal. Bukannya gak penting, kita memang harus mendorong kualitas, mutu pendidikan tapi jangan diambil sebagai satu-satunya cara untuk mengembangkan SDM. Hemat saya jalur-jalur pelatihan kerja itu menjadi penting,” kata Hanif.

Oleh karena itu, kata Hanif Kementerian Ketenagakerjaan terus mengembangkan berbagai bentuk kebijakan mulai dari pelatihan berbasis kompetensi, sertifikasi profesi, penempatan tenaga kerja yang berkualitas dengan merevitalisasi Balai Latihan Kerja (BLK).

"Pemerintah juga perlu bantuan kalangan pengusaha industri untuk memastikan agar SDM kita ini benar-benar bisa masuk ke pasar kerja dengan kualitas kompetensinya. Kita juga butuh bantuan teman-teman serikat pekerja untuk meningkatkan kualitas para pekerjanya,” kata Hanif.

“Saya itu sangat suportif terhadap perjuangan teman-teman buruh soal tuntutan kenaikan upah kesejahteraan, perlindungan, dan lain-lain. Tapi tolong bantu juga pemerintah untuk menjaga suasana hubungan industrial yang kondusif, menarik investasi, menyediakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kualitas pekerja yang berdaya saing tinggi,” kata Hanif.

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015