Jakarta paling tidak butuh 10 insinerator skala besar dengan plasma sehingga sekaligus mampu menghasilkan energi,"
Jakarta (ANTARA News) - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengembangkan kombinasi teknologi insinerator plasma yang dapat menjadi solusi dari persoalan sampah di perkotaan seperti Jakarta.

Peneliti Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan Instrumentasi LIPI Anto Tri Sugiarto di Jakarta, Jumat, mengatakan teknologi insinerator selama ini tidak digunakan karena menghasilkan gas buang dioxin yang mematikan, terlebih dengan suhu pembakaran antara 800 hingga 1000 derajat celsius (C) kontaminasi cukup tinggi.

Padahal, menurut dia, teknologi pembakaran sampah dengan insinerator ini paling pas digunakan untuk menyelesaikan masalah sampah perkotaan hingga di level kecamatan atau kelurahan, sehingga tidak perlu mengirim sampah ke tempat pembuangan akhir.

Persoalan gas buang ini yang, menurut dia, dicoba untuk diselesaikan dengan menciptakan plasma yang ditempatkan di insinerator untuk menghambat terjadinya varian gas buang dioxin, NOx, dan SOx. Dengan plasma, dioxin dapat ditekan hingga 99 persen, sedangkan NOx dan SOx dapat ditekan hingga 90 persen.

"Paling buruk dioxin bisa ditekan 70 persen lah kira-kira dengan plasma. Untuk baku mutu, contohnya SOx tadi 250 ppm bisa jadi 32 ppm," ujar dia.

Jepang, ia mengatakan menggunakan insinerator untuk membakar 70 persen sampahnya, dan sisanya recycle. Dan sisa gas buangnya diatasi juga dengan memasang plasma.

Tokyo, lanjutnya, juga menggunakan insinerator berskala besar di 20 distrik, sehingga dapat menghasilkan listrik. Dengan pembakaran minimal 800 ton sampah per hari dengan insinerator dapat menghasilkan dua megawatt (MW).

"Jakarta paling tidak butuh 10 insinerator skala besar dengan plasma sehingga sekaligus mampu menghasilkan energi," ujar dia.

Sementara itu, Peneliti Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI Rahardjo Binudi mengatakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta enggan menggunakan insinerator karena persoalan gas buang. Tapi repotnya sejak awal tahun 2000 mulai banyak yang menggunakan skala kecil.

"Ini justru rawan gas buang, karena dengan ukuran kecil butuh waktu lama memanaskannya. Karena itu bagusnya pakai insinerator skala besar, selain bisa membakar sampah juga menghasilkan energi," ujar dia.

Meski demikian, menurut dia, insinerator skala kecil memang masih dibutuhkan seperti untuk mengatasi limbah patogin rumah sakit. Dengan adanya plasma maka pihak rumah sakit tidak perlu membawa sampah keluar lokasi karena langsung diproses di sana.

"Selain rumah sakit, pulau dan kapal juga menggunakan insinerator. Mereka juga bisa gunakan plasma untuk mengatasi gas buangnya," ujar dia.

Dengan sampah mencapai 8000 ton per hari, menurut dia, Jakarta sebenarnya mampu menghasilkan 20 MW listrik dengan menggunakan insinerator skala besar. "Jadi sebenarnya potensinya besar untuk DKI Jakarta. Dana tidak terlalu masalah untuk Jakarta".

Insinerator skala kecil yang mampu mengolah sampah hingga 3000 ton per hari membutuhkan dana hingga Rp500 juta, sedangkan yang berskala besar mampu mengolah sampah di atas itu membutuhkan dana puluhan miliar. 

Pewarta: Virna P
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015