... yang frontal, tapi juga tidak boleh berkata sekasar itu karena dia menjadi sorotan...
Depok, Jawa Barat (ANTARA News) - Media sosial memang menjadi tempat mengutarakan pendapat bagi publik dan siapa saja. Tidak hanya itu, media sosial juga digunakan banyak orang mengkritisi banyak hal.




Sayang, saat ini banyak sekali pengguna media sosial yang kurang santun dalam berbahasa alias bertutur kata. 




Hal itu bisa menjadi bahasan serius saat seorang figur publik --tak terkecuali pejabat-- dinilai publik tidak sopan alias tidak santun dalam berbahasa.




Pun dalam bertutur kata di ranah publik, misalnya saat melontarkan pernyataan di media massa, yang sering disebar-luaskan lagi di media-media sosial. Penanggap di media sosial berlatar amat beragam, mulai dari anak-anak hingga orang tua, dan lain sebagainya. 




Camat Sumajaya, Depok, Dadang Wihana, berpendapat, saat seseorang masuk ke dalam ranah pemerintahan menjadi seorang pejabat publik maka bahasa yang dipakai sebaiknya bahasa pemerintahan yang komunikatif, mengayomi, dan bukan doktrin. 




"Kalau banyak bahasa-bahasa yang dikeluarkan pejabat itu kasar, itu kurang elok, Mungkin tujuannya baik, untuk menegakkan aturan, tapi caranya yang kurang baik," ujar dia, di sela Rock The Vote Indonesia, di Kampus UI, Depok, Minggu.




"Saya juga suka miris, karena dasar saya di pemerintahan," sambung dia.




Hal senada diungkapkan karyawan swasta, Shella Novasari, yang mengaku prihatin dengan perilaku berbahasa sebagian pejabat.




"Prihatin saja, seorang pejabat tidak hanya harus berpendidikan formal, tetapi juga harus diimbangi perilaku sosial," kata dia. 




Menurut dia, kinerja seorang pejabat harus seimbang dengan tata bahasanya yang santun tanpa mengurangi ketegasan dan kecekatan bekerja melayani masyarakat dan negara. 




"Kalau dia tidak bisa bahasa santun mending diam saja, ditunjukkan lewat kinerja. Ada orang yang frontal, tapi juga tidak boleh berkata sekasar itu karena dia menjadi sorotan," ujar Shella.




"Mereka figur publik, dan menjadi contoh masyarakat. Kalau misalnya mereka tidak bisa, ya mereka harus ikut kelas pendidikan perilaku, daripada hanya berpendidikan (formal) tinggi," tambah dia.




Presiden Jokowi, beberapa hari lalu, juga sempat melontarkan keprihatinannya tentang kesantunan dalam berbahasa di ranah publik melalui media sosial ini. Padahal, kesantunan sering diagung-agungkan sebagai warisan adiluhung bangsa Indonesia. 




Di tengah publik yang makin melek informasi, pejabat publik juga disorot publik dalam bertutur-kata di ranah publik. 




Walau dipandang pekerja keras, anti korupsi, dan tegas, namun tidak pelak, ucapan-ucapan yang kasar dan sikap emosional seorang pejabat cukup sering jadi polemik di media sosial. 

Pewarta: Arindra Meodi
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015