Jakarta (ANTARA News) - Tahun ini Festival Film Indonesia (FFI) digelar dengan mengusung tema "Tribute to Teguh Karya" sampai-sampai perhelatan ini pun diadakan di kota kelahiran sang maestro di Pandeglang, Banten.

Sutradara dan pendiri Teater Populer itu diangkat menjadi ikon penghargaan tertinggi dunia perfilman guna melestarikan karya-karya dan semangatnya.

"Teguh Karya lahir di Pandeglang, Banten, provinsi yang menjadi tuan rumah FFI 2015. Sayang, banyak generasi muda di Banten yang justru tidak kenal dengan Teguh Karya," kata Ketua Pelaksana FFI 2015 Olga Lydia beberapa waktu lalu.

Teguh Karya terlahir dalam nama Steve Lim Tjoan Hok pada 22 September 1937 di Pandeglang, Banten.

Beberapa anak didiknya mengenal dia sebagai seorang perfeksionis dan keras.

Bukan hanya mengarahkan aktor dan aktris, Teguh juga dikenal sering turun tangan menangani detil set panggung, makeup, bahkan kostum.

Film pertamanya, Wajah Seorang Laki-Laki (1971) tidak berhasil meraih Piala Citra pada 1972, tetapi film-film dia berikutnya --Cinta Pertama (1974), Ranjang Pengantin (1975), November 1928 (1979), Ibunda(1983), Di Balik Kelambu (1986) dan Pacar Ketinggalan Kereta(1989)--  menyabet Piala citra sebagai sutradara terbaik.

Aktris Christine Hakim mengatakan sudah selayaknya Teguh Karya mendapat penghargaan seperti diberikan panitia FFI 2015.

"Pak Teguh Karya sebagai sutradara, sebagai writer telah banyak sekali melahirkan film-film berkualitas yang jika film itu ikut festival film Indonesia pasti mendapat penghargaan, kalau tidak film terbaik atau best actress atau best actor atau artistik atau sinematografi atau musik."

"Kita juga ketahui Pak Teguh Karya tidak hanya bikin film berkualitas tapi juga komersil. Kita tahu film Badai Pasti Berlalu sampai sekarang masih dijalankan. Nah ini kalau FFI sekarang ingat prestasi Beliau sudah sewajarnya," kata Christine beberapa waktu lalu.

Christine mengaku "dilahirkan" oleh Teguh Karya. Teguh telah berjasa mengenalkan dia kepada dunia film.

Christine menyatakan bukan hanya dia, banyak aktor dan aktris berkualitas yang juga telah ditelurkan Teguh.

"Melalui Pak Teguh Karya-lah saya dibukakan jalan dunia film, sebuah dunia yang awalnya tidak pernah saya inginkan atau berfikir terjun di dalamnya, malah akhirnya jadi tempat saya mengabdi dan berkarya," kata Cristine.

Dia juga menganggap guru, bukan hanya untuknya, tetapi untuk murid-murid film segenerasinya yang Teguh lahirkan sehingga berprestasi di film. Taruhlah itu Slamet Rahardjo, Alex Komang, George Kamarullah, Yessy Gusman dan banyak lagi.

Christine bertestimoni, "Tidak banyak orang seperti Teguh Karya yang sangat konsisten dalam membina dan melahirkan generasi baru yang potensial. Saya bersyukur ditemukan almarhum sehingga beliau memberikan dasar yang kuat."

Christine mengenal Teguh sebagai pribadi yang total mengabdi untuk profesinya.

"Beliau adalah sosok yg selama 24 jam hidup di dunia berkesenian, bahkan dalam tidurnya tetap mencipta," sambung Christine.

Dan Christine mengaku bersyukur tidak pernah dimarahi Teguh Karya.

"Beliau akan marah kalau ada aktor atau aktris terlalu banyak ngaca di set. Pasti Pak Teguh marah dan berteriak 'lo mau jadi bintang film apa aktor?! Jangan ngaca mulu!", kenang Christine.

Teguh juga paling tidak suka pada aktor yang membawa skrip saat syuting karena dipikirnya itu pertanda sang aktor tidak siap.

Penerus Teguh Karya di Teater Populer, Slamet Rahardjo, mengenang Teguh sebagai seorang pekerja keras yang mengajarkan dia bagaimana mencintai profesinya.

"Kalau kamu menjadi orang film, maka kamu harus mencintai film itu dengan segala cara. Bagaimana caranya? Kerja keras dan belajar," kata Slamet.

Film-film karya Teguh, menurut Slamet, adalah artefak dari keinginan-keinginan dan pesan yang ingin disampaikannya.

"Dengan diangkatnya Teguh Karya sebagai ikon FFI, yang terpenting, adalah memberikan sugesti pada orang banyak bahwa sesungguhnya kreativitas itu tidak boleh mati," kata Slamet.

Aktris binaan Teguh Karya lainnya, Rina Hasyim, juga mengenang Teguh sebagai sutradara tegas nan telaten.

"Orangnya sangat kritis. Kalau membuat satu film tidak asal. Dia melihat sebuah karakter cocok atau tidak. Orangnya baik, sangat baik. Kita bisa bertemu muka, bicara banyak, belajar," kata Rina.

Rina mengaku termasuk orang yang banyak melihat dia dan lalu belajar disiplin dari Teguh.

"Kalau main, makeup itu harus sudah dua jam sebelumnya sudah harus makeup sebelum menghadap ke kamera. Supaya makeup bisa menyatu sama muka dulu, jadi seperti asli, sudah berminyak, nyerep. Itu katanya dia. Dia tidak bisa buru-buru syuting, make up, dia tidak mau," kenang Rina.

Observasi, menurut Rina, adalah wajib dilakukan saat main pada film Teguh Karya.

"Saat kita syuting, pemain harus sudah ada di lapangan untuk melihat medan. Tidak bisa dia lagi stuting kita cekakak-cekikik saja karena bukan peran kita. Pemain harus berdiri melihat. Itu yang saya ingat betul," kata Rina.

Dia menyambung, "Saya begitu diajak main sama dia senangnya setengah mati. Saya kira waktu itu sekitar 30-an. Saya hanya pernah dua kali main film beliau. Satu untuk televisi. Judul pertama Merobek Angan-Angan tapi diganti jadi menjadi Secangkir Kopi Pahit."

Teguh Karya memang tak tergantikan.

Christine Hakim menyebut Teguh hanya lahir pada zamannya.

"Sehingga tidak bisa satu sama lain digantikan. Jadi Teguh Karya ya Teguh Karya, Slamet Rahardjo meski dia menjadi penerus di teater tapi tidak bisa disamakan begitu juga dengan generasi berikutnya, ada Eros Jarot, Riri Reza, Garin Nugraha. Mereka masing-masing lahir pada zamannya dan punya karakter tersendiri," kata Christine.

Christine berpesan pada generasi aktor dan aktris sekarang untuk banyak belajar dan jangan lekas berpuas diri.

"Untuk menjadi aktor dan aktris harus belajar seumur hidup. Selama masih mau terlibat di dunia aktor ya selama itu pula dia tidak boleh berhenti, kreativitas harus terus jalan, kreativitas akan terus jalan kalau masih mau belajar," pungkasnya.

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015