Jakarta (ANTARA News) - Komisi VI DPR RI sedang menyusun perubahan UU No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Perubahan UU BUMN tersebut masuk dalam Prolegnas Prioritas 2016 nomor urut 19.

Penyusunan perubahan tersebut juga dikarenakan adanya keinginan untuk mengurangi jumlah BUMN dari 119 BUMN menjadi 85 BUMN sebagaimana yang dilontarkan oleh Menteri BUMN, Rini Soemarno.

Berikut 17 item yang akan diubah dalam UU BUMN sebagaimana yang disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi VI DPR RIk, Heri Gunawan di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin.


  1. Putusan MK No. 62/PUU-XI/2013 yang menyebutkan 1) bahwa BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya adalah (i) badan usaha kepunyaan negara, (ii) fungsinya menjalankan usaha sebagai derivasi dari penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak serta sumber daya alam Indonesia, (iii) sebagian besar atau seluruh modal usaha berasal dari keuangan negara yang dipisahkan, dan (iv) untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Atas dasar kesimpulan tersebut BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya berbeda dengan badan hukum privat yang juga menyelenggarakan usaha di satu pihak dan berbeda pula dari organ penyelenggara negara yang tidak menyelenggarakan usaha, seperti lembaga negara dan kementerian atau badan. 2) Masih terdapat permasalahan lain yang harus dipertimbangkan, yaitu mengenai paradigma fungsi BUMN atau BUMD sebagai kepanjangan tangan negara, yang dilaksanakan berdasarkan paradigma bisnis (business judgement rules) yang sungguh-sungguh berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan berdasarkan paradigma pemerintahan (government judgement rules).
  2. Bahwa benar, kekayaan negara tersebut telah bertransformasi menjadi modal BUMN atau BUMD sebagai modal usaha yang pengelolaannya tunduk pada paradigma usaha (business judgment rules), namun pemisahan kekayaan negara tersebut tidak menjadikan beralih menjadi kekayaan BUMN atau BUMD yang terlepas dari kekayaan negara, karena dari perspektif transaksi yang terjadi jelas hanya pemisahan yang tidak dapat dikonstruksikan sebagai pengalihan kepemilikan, oleh karena itu tetap sebagai kekayaan negara dan dengan demikian kewenangan negara di bidang pengawasan tetap berlaku.
  3. Filosofi Pembentukan BUMN: Dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai  hajat  hidup orang banyak dikuasai oleh Negara” serta “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ketentuan ini menjadi prinsip sekaligus legitimasi bagi berdirinya BUMN dan juga pengelolaannya, dimana di dalamnya diamanatkan negara memiliki fungsi untuk mengatur (regelendaad) dilakukan melalui pembentukan peraturan, mengurus (bestuursdaad) dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie), mengelola (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan Badan Usaha Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan negara c.q. Pemerintah untuk mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan negara  bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan mengawasi (toezichthoudensdaad) yaitu pemerintah mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.
  4. Maksud dan tujuan pendirian BUMN belum diatur pemisahan dan kriteria secara tegas tentang BUMN yang bertujuan untuk menjalankan kewajiban pelayanan umum atau yang bertujuan mengejar keuntungan, sehingga mencampuradukkan pengelolaan BUMN dan berakibat BUMN tidak profesional. Perubahan BUMN dilakukan tidak sesuai dengan tujuan awal pendiriannya misalnya Perum KAI menjadi PT KAI.
  5. Belum jelasnya ketentuan mengenai definisi BUMN. Dalam praktek korporasi, BUMN mengacu sepenuhnya pada praktek korporasi Perseroan Terbatas padahal kedudukan BUMN harus dibedakan dengan praktek koporasi pada Perseroan Terbatas. Sebagai contoh adalah Permen No. 02/MBU/2010 tentang Tata Cara Penghapusbukuan dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap BUMN yang mengatur bahwa proses penjualan aset BUMN hanya perlu melalui persetujuan RUPS.Perbedaan besaran kepemilikan modal antara definisi BUMN (UU BUMN) dengan perusahaan Negara (UU Keuangan Negara) menimbulkan multitafsir terhadap status perusahaan negara yang kepemilikan modalnya oleh Negara di bawah 51% namun tidak berstatus BUMN.
  6. Pengertian “kekayaan negara yang dipisahkan” menimbulkan multi tafsir antara hak dan kewajiban Negara terhadap BUMN apakah Negara hanya berfungsi sebagai penatausahaan atau ikut bertanggung jawab penuh atas pengelolaan kekayaan Negara tersebut. Hal ini sudah ditegaskan berdasarkan Putusan MK yang menyatakan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN termasuk ke dalam lingkup keuangan negara sehingga kewenangan pengawasan tetap dilakukan oleh pemerintah.
  7. Pengertian  “menteri” tidak jelas dan rancu, apakah Kementerian yang “memegang kuasa atas kekayaan Negara yang dipisahkan” dalam hal ini Menteri Keuangan, ataukah kementerian yang “memegang peran untuk melakukan pembinaan dan merumuskan kebijakan nasional terkait kelembagaan BUMN” dalam hal ini Menteri BUMN. Pengertian  “menteri” tidak jelas dan rancu juga terdapat pada pendelegasian wewenang menteri keuangan kepada menteri BUMN dalam RUPS, sebagaimana ditetapkan dalam PP No. 41 tahun 2003 tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Jawatan (Perjan) Kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara menyebabkan permasalahan dalam pelaksanaannya.
  8. Kerancuan dalam pelaksanaan privatisasi yaitu dengan menjual BUMN dan belum memadainya pengaturan mengenai kriteria dan pelaksanaan privatisasi Persero. Dalam prakteknya ada BUMN yang menguntungkan justru diprivatisasi sehingga mengurangi potensi deviden dan pajak yang dapat disetor ke kas negara. Sementara di sisi lain banyak BUMN yang merugi namun tetap dipertahankan oleh negara walaupun BUMN tersebut tidak bersifat strategis dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, akibatnya pemerintah harus terus memberikan penyertaan modal negara kepada BUMN yang merugi tersebut. Oleh karena itu perlu batasan sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai negara yang dapat diprivatisasi dan tidak dapat diprivatisasi. Terhadap BUMN yang bersifat strategis dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak walaupun merugi tetap dikuasai oleh negara. Privatisasi harus menegaskan komposisi kepemilikan saham Pemerintah pada BUMN terbuka minimal 60 persen dan proses privatisasi BUMN harus mengedepankan partisipasi modal swasta dalam negeri.
  9. Banyaknya pihak yang melakukan pemeriksaan eksternal keuangan terhadap BUMN sehingga terjadi tumpang tindih dan tidak mencerminkan efisiensi dan berkeadilan berdasarkan UU Keuangan Negara, UU BPK dan UU Perseoran Terbatas. Padahal kewenangan permeriksaan keuangan terhadap BUMN dilakukan oleh BPK. BPK dalam melakukan pemeriksaan masih menggunakan pendekatan government judgment rules semestinya pemeriksaan menggunakan pendekatan bussiness judgment rules.
  10. Persyaratan organ BUMN: Pengangkatan Direksi; 1) Belum adanya ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai kualifikasi kompetensi yang menyebabkan Direksi BUMN dapat berpindah ke BUMN lain yang tidak sesuai dengan bidang kompetensinya. 2) Belum adanya ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai frekuensi masa jabatan Direksi BUMN menyebabkan Direksi BUMN dapat berpindah ke BUMN lainnya begitu masa jabatan nya habis dan dapat diangkat berkali-kali pada BUMN yang lain. 3) Sebagai implikasi dari ketidakjelasan kualifikasi kompetensi dan batasan frekuensi masa jabatan Direksi BUMN di atas maka jenjang karir karyawan di suatu BUMN menjadi terhambat (menutup kesempatan untuk regenerasi), sebagai contoh yang terjadi pada Direktur Utama sektor perbankan pindah menjadi Direktur Utama sektor energi dan Direktur Operasional pada perusahaan BUMN sebelumnya berpindah menjadi Direktur Keuangan pada BUMN lain. 4) Belum jelasnya mekanisme reward and punishment kepada direksi dalam rangka menjalankan good corporate governance. Pengangkatan Komisaris; Pengangkatan komisaris harus lebih diperjelas mengenai kompetensinya, karena banyak komisaris yang tidak memiliki kompetensi.  Seharusnya Anggota Komisaris diangkat berdasarkan pertimbangan integritas, dedikasi, memahami masalah-masalah manajemen perusahaan yang berkaitan dengan salah satu fungsi manajemen, memiliki pengetahuan yang memadai di bidang usaha Persero tersebut, serta dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya.
  11. Penyertaan Modal Negara. Tidak tegasnya pengaturan mengenai penyertaan modal negara menyebabkan penafsiran bahwa yang dimaksud dengan modal negara harus berupa uang. Menurut ketentuan UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, kekayaan negara meliputi uang dan barang yang dapat dinilai dengan uang. Oleh karena itu penyertaan modal negara pada BUMN yang berupa barang juga harus melalui persetujuan DPR, seperti pembelian pesawat oleh pemerintah. Belum adanya pengaturan mengenai kriteria BUMN yang dapat memperoleh PMN. Akibatnya BUMN yang tidak berkinerja dan terus merugi tetap dimungkinkan untuk memperoleh PMN.
  12. Anak Perusahaan BUMN dan Holding BUMN. Kriteria mengenai pendirian anak perusahaan oleh BUMN belum jelas, sehingga terdapat BUMN yang membentuk anak perusahaan tidak sesuai dengan tujuan pendirian, bahkan berakibat kerugian pada BUMN. Pembentukan anak perusahaan BUMN tidak sesuai dengan core bussiness induk perusahaan. Banyak BUMN yang merugi juga mendirikan anak perusahaan yang berakibat menambah potensi kerugian perusahaan induknya. Pendirian holding BUMN cenderung berpotensi menghilangkan aset BUMN, oleh karena itu perlu regulasi yang jelas mengenai pembentukan holding. Karena penafsiran status anak perusahaan BUMN tidak lagi merupakan BUMN maka terdapat modus penggelapan aset melalui pendirian anak perusahaan dan manajemen BUMN induk fokus pada pengembangan usaha anak perusahaan sehingga anak perusahaan memperoleh keuntungan lebih banyak daripada induk perusahaan (mengurangi setoran deviden BUMN ke kas negara). Selain itu praktek penjualan/pemindahtanganan/kerja sama operasi yang melibatkan aset dengan pihak swasta dilakukan melalui anak perusahaan dan tidak melalui persetujuan DPR sebagaimana diatur dalam UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Selama ini pendirian anak perusahaan dan holding BUMN tidak melalui proses persetujuan DPR. Belum jelasnya pengaturan mengenai pengelolaan aset-aset cabang-cabang BUMN dan anak perusahaan BUMN yang ada di daerah.
  13. Program Kemitraan dan Bina Lingkungan dan tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR). Banyaknya BUMN yang belum optimal melaksanakan program kemitraan dan bina lingkungan karena masih mengacu pada Pasal 74 UU Perseroan Terbatas yang mengatur mengenai Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Sementara itu menurut ketentuan dalam UU BUMN (Pasal 88), menyebutkan BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. Apakah pelaksanaan program kemitraan dan bina lingkungan serta CSR dapat dilakukan oleh BUMN rugi?
  14. Kewenangan RUPS yang berportensi menimbulkan masalah, yaitu terkait daya ikat Surat Menteri dan hak substitusi kepada perorangan atau badan hukum untuk mewakili Menteri dalam RUPS karena selain organ BUMN pihak lain manapun dilarang campur tangan dalam pengurusan BUMN sebagaimana diatur dalam pasal 91 UU BUMN.
  15. Belum diterapkannya Ketentuan Pasal 21 UU No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang terhadap peran BUMN dalam mendukung perekonomian nasional, termasuk pengaturan kewajiban BUMN untuk menggunakan mata uang rupiah dalam setiap transaksi, terutama transaksi antar BUMN dan transaksi dalam negeri.
  16. Belum tegasnya rumusan fungsi pengawasan DPR terhadap pemindahtanganan/pelepasan/dan KSO aset BUMN sebagaimana diatur dalam Pasa 45 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 46 Ayat (1) UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
  17. Keterkaitan UU BUMN dengan UU Lain sehingga membutuhkan harmonisasi, yaitu: UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,; UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor; UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK; UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; UU No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik; UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; UU/Prp No. 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara; UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme; UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan; UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan; UU No. 39 Tahun 2008  tentang  Kementerian Negara; UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.

Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015