Doha (ANTARA News) - Satu-satunya badan pemerintah di Qatar yang dipilih langsung akan melakukan pemungutan suara mengenai pemberlakuan hari khusus keluarga di pusat perbelanjaan besar dalam gerakan yang disebut "larangan lajang" yang diperkirakan akan membatasi akses bagi pekerja asing.

Ide yang tampaknya tidak merugikan itu menimbulkan perdebatan sengit dan sekali lagi mengancam hubungan negara tuan rumah Piala Dunia 2022 itu dengan pekerja asingnya yang sangat banyak.

Pemungutan suara untuk usulan itu akan dilakukan oleh Dewan Kota Pusat (Central Municipal Council/CMC) pada 1 Desember, yang akan membuka delapan pusat perbelanjaan besar khusus bagi keluarga saja, sekali dalam sepekan setiap Jumat atau Sabtu.

Banyak buruh yang pindah ke Qatar sendiri, kadang dengan meninggalkan keluarga di tempat asal, akan dilarang masuk ke mal-mal paling ternama di negeri itu pada satu-satunya hari dalam sepekan dimana mereka bisa rileks.

Usulan itu diajukan oleh seorang anggota CMC, Nasser Bin Ibrahim Al-Mohannadi, yang mengklaim bahwa kehadiran para pekerja di mal mengancam warga lokal, terutama perempuan.

"Qatar adalah masyarakat berbasis keluarga, dan adalah hak keluarga untuk mendapatkan hari khusus bagi mereka," katanya kepada kantor berita AFP.

"Mal bukan hanya sekadar tempat belanja namun juga untuk hiburan dan pertemuan keluarga."

Mohannadi mewakili kota pantai Al-Khor, sekitar 50 kilometer utara ibu kota, Doha.

Ia mengatakan warga lokal mengeluh kepadanya mengenai "banyaknya jumlah" buruh yang berkumpul di salah satu mal di kota itu.

Solusinya adalah membangkitkan kembali ide "hari keluarga", kebijakan yang sudah ada sebelumnya namun tidak dijalankan.

Mohannadi mendapatkan dukungan salah satu dari dua perempuan yang duduk dalam CMC yang beranggotakan 29 orang, yaitu Sheikha Al-Jufairi, yang menggambarkan ide itu sebagai "persyaratan sangat penting".

"Keluarga-keluarga mengeluh mereka tidak bisa masuk ke mal-mal besar pada akhir pekan karena kehadiran sejumlah besar pekerja," katanya.

"Keluarga-keluarga menderita dan kami ingin mengalokasikan satu hari, apakah Jumat atau Sabtu, dan hari-hari selebihnya dalam sepekan terbuka bagi para pekerja," tambah dia.

"Lagipula, ada banyak mal lain yang bisa mereka (para pekerja) gunakan pada hari keluarga itu".

Ia menambahkan bahwa usulan itu tidak ditujukan khusus para buruh.

"Ini bukan masalah buruh. Ini masalah lajang dan keluarga dari semua negara, bahkan bujangan warga Qatar. Kami tidak mendiskriminasi siapapun."

CMC tidak mempunyai kewenangan untuk memberlakukan larangan itu, namun telah meminta campur tangan kementerian perekonomian dan perdagangan untuk memastikan bahwa mal-mal itu akan patuh.

Seorang pejabat dari kementerian itu akan menghadiri pertemuan pada Desember tersebut.

Pusat perbelanjaan memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Qatar, terutama selama musim panas yang sangat terik.

Hampir setiap hari sepanjang tahun, mal-mal terbesar penuh warga Qatar dan ekspatriat, termasuk para buruh.

Ada sekitar 1,8 juta pekerja asing, sebagian besar pria, yang merupakan 90 persen populasi di negara kecil di Teluk itu.

Banyak di antara mereka bekerja di proyek-proyek infrastruktur yang langsung ataupun tidak langsung terkait dengan penyelenggaraan Piala Dunia.


Peluang Pemisahan

Usulan itu sudah menarik perhatian kelompok hak asasi manusia, yang segera memperingatkan bahwa kebijakan itu bisa mempengaruhi reputasi Qatar yang memburuk sejak terpilih menjadi tuan rumah turnamen sepak bola terbesar itu.

"Ini seperti diskriminasi sembunyi-sembunyi," kata Nicholas McGeehan, peneliti Human Rights Watch di wilayah Teluk. "Ini pasti akan berdampak buruk."

McGeehan mengatakan ia "tidak percaya" dengan penjelasan bahwa usulan itu didorong oleh keprihatinan keluarga dan mengatakan bahwa itu menimbulkan peluang "pemisahan".

"Ketika Anda menerima begitu banyak kritikan mengenai hak para pekerja, kenapa Anda akan menambahkan diskriminasi rasial ini?" katanya.

Usulan itu juga muncul dalam peta yang baru saja dipublikasikan oleh kementerian perencanaan urban, yang menunjukkan kawasan-kawasan di Qatar, termasuk sebagian besar Doha, yang dirancang sebagai "wilayah terlarang" untuk akomodasi buruh.

George, seorang tukang perbaikan pipa asal Ghana yang tinggal di Qatar dan memiliki istri serta anak di tanah airnya, mengatakan kepada AFP, pembatasan itu akan menimbulkan "masalah besar".

"Ini berita buruk. Jumat adalah hari belanja saya," katanya, menambahkan: "Kami diperlakukan seperti warga kelas dua di sini." (Uu.S022)

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015