Jakarta (ANTARA News) - "Investasi adalah untuk kepentingan bangsa dan bukan untuk siapa pun. Tidak ada bagi-bagi untuk siapa pun".

Ucapan tegas itu dijelaskan Sekretaris Kabinet Pramono Anung ketika mengutip sikap Presiden Joko Widodo tentang berbagai pernyataan yang bersifat pro dan kontra yang menyangkut persiapan formal dan informal bagi perundingan perpanjangan kontrak antara pemerintah Indonesia dengan petinggi PT Freeport Indonesia (PTFI). Kontrak yang sekarang ini bakal berakhir tahun 2020 sedangkan perundingan formal baru akan dimulai pada tahun 2018.

Kenapa sampai Joko Widodo harus menegaskan sikap dirinya dan pemerintah itu?

Hal itu tidak lain terjadi karena Ketua Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR Setya Novanto baru-baru ini telah bertemu dengan seorang petinggi PT Freeport di Jakarta. Dalam "pertemuan rahasia " itu yang bocor berdasarkan hasil transkrip diketahui bahwa Setya Novanto menyatakan kepada pengusaha itu bahwa dirinya sudah berbicara dengan Jokowi.

"Saya sudah bertemu dengan Presiden. Semua sudah ok-lah," demikian kutipan pembicaraan Setya Novanto dengan Kepala Negara. Bahkan disebutkan oleh Ketua DPR bahwa seolah-olah harus ada pembagian saham bagi Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Mohammad Jusuf Kalla.

Pertemuan yang tidak jelas posisinya antara Ketua DPR dengan pimpinan PTFI itulah yang kemudian membuat banyak orang terutama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said dan sejumlah anggota DPR menjadi "kebakaran jenggot".

Bahkan Sudirman Said melaporkan atau mengadukan pertemuan Setya Novanto itu dengan penguasa PTFI yang bersifat rahasia itu kepada Mahkamah Kehormatan Dewan alias MKD. DPR.

Mereka mempertanyakan kok pimpinan DPR sampai "harus" bertemu dengan pimpinan perusahaan itu yang induk perusahaannya ada di Amerika Serikat.

Akhirnya pada tanggal 16 dan 17 November 2015, para anggota Mahkamah Kehormatan DPR sudah bersidang untuk membahas kasus ini terutama karena Ketua DPR Setya Novanto sudah dianggap mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden.

Sidang ke-17 anggota MKD itu akan dilanjutkan pada hari Senin, 30 November .

Dalam sidang yang sudah berlangsung dua hari itu, telah terjadi antara lain" debat kusir" posisi Sudirman Said yang melaporkan kasus ini kepada MKD. Pertanyaan yang diajukan antara lain adalah apakah Sudirman Said mempunyai hak untuk melaporkan masalah ini atau tidak kepada MKD.

Ketua MKD Surahman Hidayat kepada wartawan mengatakan pada akhirnya para anggota MKD sepakat bahwa Menteri ESDM itu mempunyai hak hukum untuk mengadukan atau melaporkan kasus ini kepada MKD atau istilahnya ada "legal standing".

Selain itu, juga dibicarakan mengenai siapa yang merekam pembicaraan itu serta kenapa transkrip pertemuan itu panjangnya hanya sekitar 12 menit sedangkan pembicaraan Setya Novanto dengan "mitranya" sekitar dua jam atau kurang lebih 120 menit?.

Kasus ini tidak hanya mengundang perdebatan di antara para pakar, pendukung Setya Novanto dengan para lawannya, tapi juga di antara para anggota DPR itu sendiri.

"Fahri Hamzah itu bukan anggota MKD. Sedangkan kami adalah anggota MKD. Jadi Fahri Hamzah jangan coba- coba melakukan intervensi," demikian sikap tegas Wakil Ketua MKD Junimat Girsang. Sebelumnya wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyatakan eksekutif atau pemerintah tidak boleh"mengintervensi" legislatif atau DPR.

Bahkan Wakil Ketua DPR Fadli Zon juga seakan-akan menjadi "pembela kuat" Ketua DPR setelah berlangsungnya "pertemuan rahasia" Koalisi Merah Putih yang diselenggarakan di rumah Ketua Umum Partai Geindra Prabowo Subianto baru- baru ini.

"Kami menerima pernyataan Pak Setya Novanto," kata Fadli Zon ketika "membela" atasannya itu. Sebelumnya Ketua DPR itu menyatakan ia tidak pernah "mencatut" nama Jokowi dan Jusuf Kalla saat bertemu dengan petinggi PTFI di sebuah restoran di Jakarta.

Setya Novanto sudah berulang kali menjadi sorotan publik akibat pernyataan-pernyataannya atau tindakannya yang bersifat kontroversial seperti saat bertemu dengan bakal calon presiden AS Donald Trump. Akibat pertemuan itu, Ketua DPR mendapat surat peringatan dari Mahkamah Kehormatan DPR.


Wakil Rakyat

Pertemuan Ketua DPR dengan pengusaha swasta itu saja sudah pasti mengundang 1001 pertanyaan antara lain adalah apa haknya pimpinan DPR untuk bertemu dengan penguasa PTFI apalagi mengenai kemungkinan perpanjangan kontrak?

DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat tentu saja mempunyai hak untuk membela rakyat dan bangsa. Tapi kenapa Ketua DPR sampai merasa harus berbicara hal-hal yang bersifat teknis yang sebenarnya adalah urusan atau wewenang pemerintah dalam hal ini terutama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral?

Selain itu, kenapa pertemuan itu sampai harus berlangsung di sebuah restoran dan tidak dilakukan di ruang kerja resmi pimpinan DPR di komplek Parlemen di Senayan? Apakah pertemuan itu mengandung "rahasia besar" sehingga harus dilakukan di luar Senayan, karena ada faktor-faktor ekonomis yang "menguntungkan Setya Novanto?

Kalau benar Setya Novanto tidak "mencatut" nama Presiden dan wakil Presiden maka kenapa sampai Jusuf Kalla berkata" Sudah pasti Presiden dan saya marah".

Atau perhatikan kembali pernyataan Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengenai sikap Kepala Negara "Ini menjadi peringatan bagi siapa pun yang mengatasnamakan Presiden".

Masyarakat juga patut merenungkan ucapan mantan ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif bahwa "Kalau sudah punya niat baik untuk melaporkan, maka tidak ada masalah".

Kasus Ketua DPR ini pasti akan mengingatkan masyarakat tentang kasus-kasus yang melibatkan sejumlah anggota DPR mulai dari Mohammad Nazaruddin hingga Angelina Sondakh yang lagi-lagi mengenai soal fulus bernilai miliaran rupiah sehingga mereka sampai harus dipecat dari Senayan.

Para anggota DPR sebagai wakil rakyat tentu harus bekerja agresif atau aktif untuk membela rakyat supaya masyarakat terutama yang miskin menjadi membaik perekonomiannya atau berhak pula menikmati hak politiknya. Wakil rakyat sudah mendapat gaji puluhan juta rupiah tiap bulannya yang pasti jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan petani, tukang becak, pengojek ataupun gelandangan bahkan wanita tuna susila.

Kasus keuangan yang melibatkan para wakil rakyat itu bisa terjadi karena mereka mungkin harus mengorek- ngorek kantongnya bernilai ratusan juta bahkan miliaran rupiah supaya bisa duduk atau duduk lagi di Senayan melalui pemilu tahun 2014 dan juga tentu harus ada "lebihnya".

Belum lagi untuk menghadapi pemilu tahun 2019 supaya bisa terpilih lagi jadi anggota DPR, sehingga harus melakukan berbagai persiapan termasuk menyediakan "duit" guna menarik konstituen atau bahkan calon konstituen supaya mau memilih mereka sehingga bisa duduk di Senayan.

Kasus Setya Novanto ini harus direnungkan sekalipun masyarakat harus mengikuti prinsip praduga tak bersalah.

Selain terjadi di ibu kota, ternyata wakil rakyat pun di tingkat daerah seperti di Provinsi Sumatera Utara ikut- ikutan dalam kasus "duit" yang terkait dengan kelakuan Gubernur Sumatera Utara nonaktif Gatot Pudjo Nugroho mengenai dana bantuan sosial.

Pertanyaan yang pantas diajukan kepada semua wakil rakyat di pusat dan daerah adalah apakah mereka ini benar-benar ingin menjadi wakil rakyat untuk membela kepentingan orang banyak atau sekadar mencari "gaji" alias uang dengan menjalankan "fungsi" sebagai anggota parlemen.

Mumpung masa jabatan semua wakil rakyat masih cukup lama sekitar empat tahun lagi, maka tidaklah berlebihan jika rakyat menuntut semua wakil mereka di DPR dan DPRD untuk merenungkan atau mempertimbangkan kembali posisi mereka di parlemen. Jika ingin sungguh-sungguh menjadi wakil rakyat yang benar maka silahkan bekerja terus mengabdi.

Akan tetapi jika cuma ingin mencari uang atau gaji maka tidak berlebihan jika rakyat mendesak mereka untuk langsung mundur saja dari kursi empuknya dari sampai harus digusur karena vonis yang dijatuhkan oleh KPK.

Oleh Arnaz F Firman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015