Jakarta (ANTARA News) - Penggunaan Antibiotik secara tidak tepat dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan berbagai efek samping yang serius namun yang paling berbahaya yaitu mengakibatkan kekebalan atau resistensi.

Yaitu suatu keadaan di mana bakteri sudah tidak mempan lagi dengan antibiotik, sehingga dibutuhkan antibiotik lain yang masih sensitif.

Masalah resistensi antibiotik, bukan hanya menjadi masalah individu, tetapi menjadi masalah dunia. Sejak tahun 2005, hingga saat ini sudah tidak ditemukan lagi antibiotik baru  sehingga jika bakteri sudah resisten terhadap antibiotik yang ada, tidak ada antibiotik lain yang dapat menyembuhkan.

Sayangnya bahaya resistensi antibiotik dan jenis antimikroba lainnya ini belum semua dipahami dengan baik oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat.

Untuk menghindari melemahnya manfaat antibiotik dan meluasnya resistensi atau kekebalan terhadap antibiotik, Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun ini mencanangkan Pekan Peduli Antibiotik Sedunia pada tanggal 16 hingga 22 November 2015.

Melalui kampanye berslogan “Antibiotics: Handle with Care” ini, WHO mengajak masyarakat untuk memanfaatkan antibiotik dengan tepat. Resistensi bakteri terhadap antibiotik ini telah menjadi permasalahan sangat serius dan menjadi salah satu tantangan terbesar dunia kesehatan.

Adanya resistensi bakteri menyebabkan penurunan kemampuan antibiotik dalam mengobati infeksi dan penyakit pada manusia, hewan dan tumbuhan.

Maura Linda Sitanggang, PhD, Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI menyampaikan, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan penggunaan obat secara rasional, terutama penggunaan antibiotik secara bijak.

Upaya yang dilakukan melalui strategi edukasi, manajerial maupun edukasi ditujukan pada tenaga kesehatan maupun masyarakat. Kemenkes telah melaksanakan beberapa kebijakan untuk pengendalian resistensi antibiotik.

Pada tahun 2011, telah diterbitkan Peraturan Kementerian Kesehatan (Permenkes) No. 2406 mengenai Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, diikuti dengan Keputusan Menteri (Kepmen) tahun 2014 mengenai pembentukan Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA). Upaya ini juga dilakukan melalui edukasi dan penyebaran informasi pada masyarakat.
 
“Program pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan penggunaan obat secara rasional telah dilakukan sejak tahun 2008. Antara lain edukasi masyarakat dengan metode CBIA (Cara Belajar Insan Aktif) dan penyebaran informasi melalui beberapa media. Namun hal ini masih belum cukup, sehingga dibutuhkan upaya pemerintah bersama masyarakat untuk mewujudkan kepedulian, kesadaran, pemahaman dan keterampilan masyarakat dalam menggunakan obat secara tepat dan benar. Untuk itu minggu lalu, Menteri Kesehatan mencanangkan Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat (GeMa CerMat) pada tanggal 13 November 2015,” jelasnya. 

GeMa CerMat merupakan upaya pemerintah bersama masyarakat untuk mewujudkan kepedulian, kesadaran, pemahaman dan keterampilan masyarakat dalam menggunakan obat secara tepat dan benar.

Tujuannya untuk meningkatkan kemandirian dan perubahan perilaku masyarakat dalam memilih, mendapatkan, menggunakan, menyimpan dan membuang obat secara benar, sehingga akan meningkatkan penggunaan obat secara rasional.

Untuk meningkatkan keberhasilan gerakan ini, akan dilibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait, organisasi profesi kesehatan, perguruan tinggi, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, tokoh agama, tokoh adat serta elemen-elemen lain yang ada di masyarakat.

Informasi selanjutnya mengenai GeMa CerMat dapat dilihat pada fanpage  https://www.facebook.com/Cerdas-Gunakan-Obat.

Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2015