Jakarta (ANTARA News) - Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja, pemerintah mengharapkan adanya bunga bank murah.

Namun bagi Bank Indonesia (BI) pengelolaan suku bunga perlu dilakukan secara hati-hati karena terkait menjaga inflasi dan nilai tukar rupiah.

Perbedaan kepentingan itu terungkap dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (BI) 2015 pada Selasa malam (23/11) yang diselenggarakan di Balai Sidang Jakarta. Sepertinya harus ada upaya agar dua kepentingan itu bisa sama, tidak berbeda.

Perbedaan kepentingan itu akhirnya yang memunculkan pertanyaan tentang perlu tidaknya suku bunga acuan BI atau BI Rate, turun atau tidak.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada Selasa (17/11) memutuskan untuk kembali mempertahankan BI Rate sebesar 7,5 persen dengan suku bunga Deposit Facility 5,5 persen dan Lending Facility pada level 8 persen.

Keputusan itu diambil di tengah tuntutan penurunan bunga BI Rate yang diperlukan untuk mendorong perekonomian saat ini. Penurunan suku bunga acuan bisa signifikan memulihkan konsumsi masyarakat dan kinerja dunia usaha.

Keringanan bunga acuan akan diikuti dengan penurunan bunga perbankan. Hal itu bisa mengurangi ongkos produksi dan akan berimbas pada peningkatan daya saing barang hasil produksi.

Dalam sambutannya pada pertemuan di Balai Sidang Jakarta tersebut, Wakil Presiden M Jusuf Kalla mengatakan pemerintah dan BI perlu berkoordinasi karena BI harus menstabilkan kondisi perekonomian makro dan inflasi sedangkan di sisi lain pemerintah perlu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat lapangan kerja.

"Kita tidak bisa masing-masing pihak menjalankan kebijakan secara independen karena diikat dalam Undang-Undang, di mana Bank Indonesia harus mendengarkan pemerintah dalam kebijakannya dan pemerintah harus mendengarkan Bank Indonesia dalam menjalankan tugas-tugasnya," kata Wapres.

BI, menurut dia, memang memiliki independensi namun itu adalah "independen dalam musyawarah", dalam artian kedua pihak perlu berkoordinasi dalam setiap keputusan yang diambil.

Sistem koordinasi itu, kata Wapres yang akrab dipanggil JK itu, terwujud saat pemerintah wajib meminta pandangan BI dalam menjalankan kebijakannya dan wajib mengundang BI hadir dalam sidang kabinet.

Wapres mengatakan kendati ukuran keberhasilan kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah dan BI berbeda, namun tujuan kebijakan itu tetap difokuskan kepada pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja.

"Bank Indonesia selalu mengukur keberhasilan dalam nilai tukar dan inflasi, tapi pemerintah mengukur keberhasilan dalam pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja," kata JK.

Sehubungan dengan itu Wapres mengatakan suku bunga perbankan yang tinggi menjadi salah satu kelemahan Indonesia dalam persaingan bisnis dengan negara lain.

"Kalau kita masih tingkat bunganya lima persen sampai 11 persen, namun di Malaysia lima persen, kita kalah di sini. Apalagi di China," katanya.

Menurut JK, untuk memperbaiki ekonomi dalam negeri, perbankan juga perlu menurunkan suku bunga, khususnya kredit untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) melalui kredit usaha rakyat (KUR). Dengan penurunan suku bunga tersebut maka tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat bisa meningkat.

JK menjelaskan, untuk meningkatkan pertumbuhan investasi di Indonesia, perbankan perlu memberikan tawaran yang menarik bagi pelaku usaha seperti suku bunga yang rendah. "Tidak mungkin terjadi dua-duanya, bunga tinggi dan investasi tinggi," kata Wapres.



Hati-hati

Sementara itu, BI menyatakan akan konsisten dan berhati-hati dalam menerapkan kebijakan moneter untuk mengarahkan inflasi sesuai dengan sasarannya, mengendalikan defisit transaksi berjalan ke level yang sehat, serta mendukung stabilitas ekonomi.

Tujuannya agar kegiatan ekonomi dapat bergerak sepadan dengan kapasitas perekonomian dan tidak menimbulkan tekanan kepada peningkatan inflasi dan defisit transaksi berjalan.

"Saat ini memang tekanan pada inflasi dan defisit transaksi berjalan sudah mulai menurun. Namun, tetap diperlukan kewaspadaan yang tinggi terhadap kondisi eksternal yang berisiko mengganggu kestabilan perekonomian nasional, terutama potensi risiko instabilitas global yang dapat dipicu oleh rencana kenaikan suku bunga di AS," kata Gubernur BI Agus DW Martowardojo dalam pertemuan tersebut.

Menurut dia, di tengah besarnya komposisi dana asing yang rentan berbalik arah, kebijakan moneter perlu ditempuh secara hati-hati dan terukur, sehingga tidak meningkatkan kembali tekanan kepada stabilitas ekonomi dan akhirnya memperlemah momentum pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan moneter juga akan ditopang dengan penguatan operasional moneter yang diarahkan untuk mendukung efektivitas kebijakan moneter yang ditempuh.

"Dalam hal ini, kebijakan nilai tukar tetap diarahkan untuk mengendalikan stabilitas nilai tukar rupiah agar sesuai dengan nilai fundamentalnya, serta memperkuat pengelolaan struktur penawaran dan permintaan di pasar valuta asing termasuk transaksi valuta asing berjangka untuk kebutuhan lindung nilai," kata Agus.



Optimistis

Agus juga mengatakan cakupan tantangan global yang dihadapi perekonomian Indonesia pada masa mendatang masih luas, namun itu tidak serta merta berarti bahwa prospek perekonomian ke depan gairahnya akan meredup.

Indonesia harus tetap perlu optimistis dan mantap dalam menatap masa depan.

"Optimisme kami terhadap ketahanan ekonomi tidak terlepas dari komitmen kita bersama untuk terus mempercepat dan melaksanakan reformasi struktural secara berkelanjutan, konsisten, dan bersinergi antar sektor," kata Agus.

Menurut gubernur bank sentral itu, optimisme tersebut perlu dijaga karena Indonesia memiliki empat kekuatan domestik.

Pertama, berbagai langkah yang telah diinisiasi pemerintah pada tahun ini untuk mengatasi berbagai hambatan struktural.

Kedua, dalam 15 tahun ke depan, Indonesia masih akan memiliki usia produktif, yang akan terus berekspansi secara persisten menopang pertumbuhan ekonomi.

"Selain itu, Indonesia telah memasuki zaman di mana konsolidasi kehidupan politik di alam demokrasi yang bebas dan terbuka, telah mampu berjalan seiring dan bersanding dengan pencapaian positif pada kemajuan ekonomi," kata Agus.

Terakhir, kedisiplinan dalam pengelolaan makroekonomi selama untuk menjaga stabilitas perekonomian.

Agus juga mengatakan, BI mewaspadai tiga risiko ekonomi global yang perlu diantisipasi dan disikapi, yakni perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, penurunan harga komoditas global dan penurunan aliran masuk modal asing ke negara berkembang.

"Ketidakpastian tidak hanya bersumber dari risiko yang telah kita identifikasi (known-unknown), tetapi juga dapat berasal dari sesuatu yang belum terpikirkan sebelumnya (unknown-unknown)," kata Agus.

Menurut Agus, risiko koreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2016 yang sebesar 3,5 persen akan terjadi apabila pemulihan ekonomi Tiongkok dan negara berkembang lain tidak sesuai harapan.

Terkait penurunan harga komoditas, diperkirakan masih akan berlanjut pada tahun depan sejalan dengan berakhirnya super-cycle harga komoditas.

Sedangkan risiko ketiga ialah terkait dampak global yang dapat ditimbulkan oleh proses normalisasi kebijakan moneter AS, baik dari sisi timing maupun besaran perubahan suku bunga bank sentral AS (Fed Fund Rate).

Agus menambahkan, selain ketiga risiko tersebut, tentunya Indonesia perlu mencermati berbagai dinamika global lain, termasuk konstelasi kebijakan ekonomi global yang menjurus pada upaya untuk meningkatkan daya saing mata uang (currency war), yang muncul tanpa diduga.

Oleh Ahmad Buchori
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015