Jangan sampai kita jadi bulan-bulanan, dikepung dan dibanjiri produk-produk mereka tanpa kita mendapatkan manfaat,"
Jakarta (ANTARA News) - Anggota DPR RI, Tantowi Yahya, mengatakan, Indonesia harus benar-benar mempersiapkan diri menghadapi pasar bebas bersama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) karena jika tidak siap, akan menimbulkan konflik.

"Jangan sampai kita jadi bulan-bulanan, dikepung dan dibanjiri produk-produk mereka tanpa kita mendapatkan manfaat," kata Tantowi dalam Seminar Umum bertema "MEA: Antara Nasionalisme dan Pasar Bebas Tenaga Kesehatan", di Jakarta, Sabtu.

MEA, kata dia, bukan saja berdampak secara ekonomi, tetapi juga secara sosial budaya. Sehingga berpotensi menimbulkan konflik, benturan atau bahkan perusakan kultural.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI ini menilai kesiapan Indonesia dalam menghadapi MEA masih sangat minim. Padahal, diyakini, Indonesia akan menjadi pasar utama bagi berbagai produk dan jasa dari negara anggota.

MEA sendiri akan diikuti oleh 10 negara ASEAN dengan total penduduk mencapai 600 juta jiwa (9,5 persen penduduk dunia). Dari jumlah penduduk anggota MEA, sebanyak 43 persennya ada di Indonesia. Tidak heran Indonesia akan menjadi pasar utama yang besar untuk arus barang dan investasi.

Dalam seminar yang digagas Developing Countries Studies Center (DCSC) dan Universitas MH Thamrin, Tantowi menjelaskan, MEA tidak hanya untuk perdagangan barang dan jasa, namun juga tenaga kerja profesional seperti dokter, pengacara, akuntan dan lainnya.

Oleh sebab itu, jika tidak ada persiapan dengan baik, maka MEA justru akan menciptakan resiko ketenagakerjaan bagi Indonesia mengingat tenaga kerja nasional masih kalah bersaing.

Menurut dia, ada sejumlah tantangan besar bagi Indonesia dalam menghadapi pasar bebas masyarakat Asean, diantaranya masih tingginya jumlah pengangguran terselubung, rendahnya jumlah wirausahawan baru untuk mempercepat perluasan kerja.

Sebagai perbandingan percepatan wirausahawan baru Indonesia baru sekitar 1,65 persen. Sedangkan Singapura sebesar 7 persen dan Thailand sebesar 4 persen.

Belum lagi, di sektor ketenagakerjaan, pekerja Indonesia masih didominasi oleh pekerja tidak terdidik sehingga produktivitasnya rendah.

"Pengangguran di Indonesia tertinggi di antara 10 negara ASEAN anggota MEA lainnya. Kemudian, sektor informal masih mendominasi lapangan pekerjaan. Di mana sektor ini justru belum mendapat perhatian dari pemerintah," ucap Tantowi.

Salah satu pekerjaan rumah terbesar Indonesia saat ini, yakni menyiapkan generasi muda yang terampil, khususnya di bidang kewirausahaan, Iptek dan bahasa. Termasuk mendorong pemerintah dan DPR untuk menyiapkan seluruh infrastruktur yang diperlukan.

Khusus MEA dan tenaga kesehatan, ia mengingatkan, sampai saat ini di Indonesia juga belum tumbuh dorongan atau kewajiban untuk mendapatkan sertifikasi internasional.

Di bidang ini pula, tenaga analisis kesehatan nasional masih jauh tertinggal. Sebagai perbandingan, tenaga analisis kesehatan di Asean sebagian besar sudah berpendidikan S1. Sementara di Indonesia masih D-III.

"Perawat di Indonesia juga masih bersifat umum. Padahal ke depan, perawat pun harus memiliki spesifikasi penyakit tertentu," ucap Tantowi.

Selama ini, menurut Tantowi, hampir satu juta orang Indonesia setiap tahun pergi ke luar negeri untuk berobat. Kondisi ini menghabiskan devisa sedikitnya 1,5 miliar dollar AS atau sekitar 20 triliun rupiah pertahun.

Pewarta: Syaifu Hakim
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015