Jakarta (ANTARA News) - Pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio menyarankan agar Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman tegas dalam menyikapi validasi data produksi padi terkait beda perhitungan dengan Badan Pusat Statistik (BPS).

"Kalau tidak segera diambil tindakan atau diluruskan persoalannya secara langsung oleh Menteri Pertanian maka kredibilitas kedua lembaga pemerintah bisa menurun," kata Hendri kepada Antara di Jakarta, Jumat.

Ia menjelaskan, hal ini berkaitan dengan berbagai sektor, karena BPS sebagai acuan data berbagai pihak, pengaruhnya besar terhadap kepercayaan publik.

"Tidak boleh lama-lama, agar selisih data tidak semakin membesar, jangan sampai terjadi politisasi data," tukasnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Hasil Sembiring mengatakan bahwa tidak ada yang namanya istilah data dari Kementerian Pertanian (Kementan) terkait perhitungan produksi beras nasional yang surplus, namun tetap impor.

"Kami tidak mengeluarkan data, Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengeluarkan, yang ada adalah data berjenjang," kata Hasil Sembiring.

Ia menjelaskan, Kementan hanyalah mengumpulkan data dari rantai pertanian, kemudian dilaporkan dengan berdiskusi bersama BPS, kemudian BPS yang memiliki hirarki langsung dari pusat hingga kecamatan.

"Kami telah menggelontorkan dana sebanyak Rp49 miliar, agar mendapatkan data yang akurat, dengan cara menyegarkan tenaga-tenaga pencari data di lapangan, bisa penambahan alat atau honor, tentunya bekerja sama dan terintegrasi dengan tenaga BPS, tapi bukan kami yang rilis data," tuturnya.

Padahal sebelumnya, berdasarkan rilis data BPS pada tahun 2015 Indonesia diprediksi mampu memproduksi gabah kering giling (GKG) sebanyak 75 juta ton atau setara dengan 43,940 juta ton beras.

Namun, data tersebut kemudian direvisi kembali oleh BPS menjadi 74,99 juta ton dengan alasan kekeringan atau El-nino. Tetapi, ternyata walaupun direvisi, konsumsi beras nasional tahun ini berdasarkan data dari Kementerian Pertanian (Kementan), menurut BPS, Indonesia hanya butuh 33,368 juta ton, atau kesimpulannya tetap surplus.

Atas kejadian tersebut, beras surplus tapi pemerintah tetap impor, maka banyak pihak beranggapan bahwa data dari BPS tidak valid. Semwntara itu, anggapan ini juga diakui oleh Kepala BPS Suryamin.

Suryamin sepakat bahwa data produksi kebutuhan beras di Tanah Air pada saat ini tidak valid dengan kondisi di lapangan.

"Memang dugaan tidak valid, tapi jangan digeneralisirkan pada semua data. Karena banyak hal satunya, kemudian yang lain, ada juga yang namanya Sensus Nasional (Senas), kesemuanya kami kerjakan sendiri tidak ada orang lain campur tangan. Itu kami lakukan sendiri dan kami jamin," tegas Suryamin.

Pewarta: Afut Syafril
Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2015