Ouagadougou (ANTARA News) - Masyarakat Burkina Faso mulai memberikan suara mereka dalam pemilu presiden dan parlemen pada Minggu, berharap membuka lembaran baru setelah satu tahun kekacauan karena rakyat menggulingkan mantan penguasa dan menolak kudeta militer.

Keamanan ketat diberlakukan saat lima juta pemilih di salah satu negara Afrika barat yang berpenduduk total 20 juta orang itu, pergi ke tempat-tempat pemungutan suara untuk pertama kalinya memilih pemimpin baru mereka setelah hampir tiga dasawarsa.

Pihak berwenang mengerahkan sekitar 20-25 ribu tentara untuk menghindari ancaman kelompok garis keras, menyusul dua serangan di barak polisi yang terletak di sebelah barat dan berbatasan langsung dengan Mali.

"Untuk pertama kalinya setelah 50 tahun kita mengalami ketidakpastian dalam pemilu... kita tidak tahu siapa pemenang yang akan menjabat nantinya," kata Abdoulaye Soma, kepala hukum konstitusional masyarakat Burkina.

"Ini merupakan petunjuk positif dan perubahan fundamental dari pemilu-pemilu yang pernah kita jalani sebelumnya," ujar dia.

Mantan presiden Blaise Compaore dipaksa pergi dari negara tersebut setelah massa berunjuk rasa di jalan-jalan pada Oktober 2014 untuk melawan keinginannya mengubah konstitusi agar bisa memperpanjang masa jabatannya yang telah berlangsung selama 27 tahun.

Sejak saat itu, pemerintah transisi memegang kendali hingga pemilu baru diselenggarakan.

Namun, ketidakpastian sempat melanda masyarakat negara tersebut pada September lalu, satu bulan sebelum pemilu presiden yang dijadwalkan pada 11 Oktober 2015, saat para pemimpin elit militer yang dekat dengan Compaore mencoba merebut kekuasaan.

Sekali lagi para warga yang marah kembali turun ke jalan dan menggagalkan kudeta militer. Para pemimpin militer tersebut kemudian dipenjarakan dan pemilu dijadwalkan ulang pada 29 November 2015.

Compaore (64), mantan tentara militer tampan yang dikenal sebagai "Beau Blaise", kini diasingkan di Pantai Gading.

Ia mengambil alih kekuasaan pada 1987 ketika mantan kawan revolusionernya di militer, Thomas Sankara--seorang pemimpin Afrika karismatik yang dikenal sebagai "Che Sankara"--ditembak mati dalam kudeta Compaore yang kini diyakini secara luas sebagai serangan terencana.

Sankara secara aktif menyuarakan tentang pendidikan, kesehatan, dan hak-hak perempuan di Burkina Faso, sebuah negara yang bahkan lebih miskin dibandingkan standar Afrika.

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2015