Jakarta (ANTAR News) - Dua puluhan anak tampil satu persatu ke atas panggung, bergantian, memainkan lagu-lagu musik klasik dengan alat musik petik Harpa di Balai Resital Kertanegara, Jakarta, Minggu (29/11).

Tepuk tangan hadirin pun bergemuruh setiap kali performance setiap anak berakhir. Semua anak tersebut adalah anak didik dari Harpist pertama dan terkemuka Indonesia, Heidi Awuy. Usia mereka tergolong sangat muda ada yang usia enam tahun dan rata-rata belasan tahun.

Ada sekitar 24 lagu yang dimainkan, mulai dari lagu ciptaaan Eric Satie, Naderman, Bethoven dan JS Bach. Dari puluhan lagu tersebut, cuma ada satu lagu karya harpist Indonesia, La Riviere. Lagu ini karya harpist muda Indonesia, Fania Muthiah, murid Heidi Awuy berusia 15 tahun. 

"Komposisinya ditulis oleh Fania dibantu oleh Iswara Geovani, menantu saya yang juga pemusik," kata Heidi Awuy dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

Heidi mengakui di Indonesia tidak ada pemusik yang khusus mengarang lagu untuk Harpa. “Mungkin dulu alatnya belum terkenal dan tidak umum. Jadi biasanya kita sadur, seperti memainkan lagu Rayuan Pulau Kelapa, Bengawan Solo,” jelas Heidi. Sehingga persembahan Fania untuk Harpa Indonesia sangat membanggakan.

Heidi menjelaskan, pada zaman dulu, masyarakat tidak akan bisa menemui Anak kecil memainkan Harp. Selain tingkat kesulitan, alat musik ini juga berukuran besar sehingga tidak mungkin dimainkan oleh anak-anak. Akan tetapi, seiring memasyarakatnya alat musik ini di Indonesia, sekarang harpa berukuran kecil sudah diproduksi dan beredar di Indonesia.

"Anak-anak tidak mungkin memainkan Harpa besar. Sekarang harpa kecil sudah mulai dibikin, sudah lumayan mudah. Sekarang sudah hampir dua tahun saya bisa membagi keahlian harpa kepada anak-anak," ujarnya.

Menurutnya, Harpa adalah alat musik dengan teknik tersulit dibanding alat musik lain. Secara teknik tidak semua orang bisa main Harpa. Karena itu dia mengajarkan harpa tidak sekedar untuk manggung atau show. Tapi menanamkan sikap disiplin, ketekunan, dan setia untuk bisa mencapai sesuatu.

Heidi berharap, animo masyarakat semakin meningkat terhadap musik harpa.

Tiga puluh tiga tahun lalu belum ada pemain harpa di Indonesia. Tapi sejak Heidi memperkenalkan musik ini sejak tahun 1982, Harpa sudah mulai membudaya, terutama di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bali dan sebagainya.

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015