Mataram (ANTARA News) - Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat mewaspadai berbagai tindak pidana pelanggaran pemilihan kepala daerah setelah dilakukannya pemungutan suara secara serentak pada 9 Desember 2015.

Kepala Bagian Operasional Kepolisian Daerah (Polda) Nusa Tenggara Barat (NTB) Komisaris Besar (Kombes) Polisi Halim Pagarra, di Mataram, Senin, mengatakan beberapa pelanggaran yang berpotensi terjadi setelah pemungutan suara, seperti tidak transparansinya hasil pemungutan suara, tidak ditandatanganinya hasil penghitungan suara oleh masing-masing tim sukses pasangan calon kepala daerah dan isu penggelembungan suara.

"Setelah pemungutan suara juga berpotensi munculnya penolakan hasil penghitungan suara dan ada pihak yang tidak siap menerima hasil pilkada," katanya.

Menurut dia, berbagai potensi pelanggaran tersebut merupakan tantangan selama proses pelaksanaan pilkada serentak yang digelar di tujuh kabupaten/kota di NTB, pada 9 Desember 2015.

Ketujuh kabupaten/kota itu adalah Kota Mataram, Kabupaten Lombok Utara, Lombok Tengah, Sumbawa Barat, Sumbawa, Dompu dan Bima.

Melihat tantangan, lanjut Halim, pihaknya juga punya pemikiran keadaan bahwa nanti pada saat masa tenang dua hari sebelum pelaksanaan pilkada diperkirakan masih ada atribut yang masih terpasang.

Selain itu, adanya ancaman intimidasi, kampanye terselubung di masa tenang dan praktik politik uang.

Kemudian nanti pada tahap pemungutan suara adanya intimidasi dari pemilih, golongan putih, memilih calon tertentu, kelompok panitia pemungutan suara (KPPS) tidak netral, pemilih ganda dan pemilih di bawah umur.

"Untuk itu kami ada upaya preventif untuk mencegah pelanggaran dan upaya refresif dalam menangani pelanggaran dalam pelaksanaan proses pilkada," ujarnya.

Menanggapi potensi pelanggaran selama proses pilkada, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) NTB, M Khualid, mengatakan pihaknya sudah meminta seluruh jajaran pengawasan untuk tetap melakukan penyisiran terkait daftar pemilih ganda.

Hasil temuan kemudian dikoordinasikan dengan komisi pemilihan umum (KPU), panitia pemilihan kecamatan (PPK) dan kelompok panitia pemungutan suara (KPPS), sehingga tidak ada lagi dugaan pelanggaran.

Sementara terkait potensi pelanggaran penggelembungan suara, Bawaslu NTB juga sudah meminta saksi-saksi dari seluruh pasangan calon kepala daerah ikut melakukan pengawasan secara ketat.

"Kami minta para saksi itu ikut mengawasi agar tidak sembarangan menyatakan penggelembungan suara, padahal belum paham mekanisme rekapitulasi surat suara," katanya.

Terkait dengan potensi KPPS tidak netral, Ketua KPU NTB Lalu Aksar Ansori, menegaskan sejak awal pihaknya sudah melakukan langkah antisipasi mulai dari proses perekrutan yang menjamin mereka bukan berasal dari afiliasi partai atau koalisi tertentu.

"KPPS itu juga tidak boleh menjabat dua kali untuk memotong generasi sebelumnya yang sudah lama jadi KPPS," katanya.

Seluruh KPPS yang direkrut, kata dia, juga diberikan bimbingan teknis, agar mereka memahami tugas pokok dan fungsinya. Mereka kemudian dibekali dengan simulasi, buku panduan dan diberikan "compact disc" yang berisi film tugas KPPS.

"Film itu harus ditonton agar mereka paham betul tentang tugas dan tanggung jawabnya melaksanakan pemungutan suara," kata Aksar.

Pewarta: Awaludin
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015