Paris (ANTARA News) - Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono menilai banyak kemajuan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang Perubahan Iklim (COP) ke-21 di Paris, Prancis, salah satunya tentang komitmen negara-negara maju untuk meningkatkan perekonomian yang sejalan dengan pelestarian lingkungan.

"Dulu banyak negara yang ogah-ogahan untuk menerapkan ekonomi hijau tapi di COP Paris ini mereka menyatakan komitmen, termasuk Amerika dan Tiongkok. Termasuk negara berkembang lainnya seperti India juga sangat berkontribusi," kata SBY usai berpidato dalam sesi bertajuk "The Pathway to a sustainable low carbon and climate resilient economy" di Paviliun Indonesia di Le Bourget, Paris, Prancis, Selasa, waktu setempat.

Terkait lambannya negosiasi, SBY yang saat ini menjabat sebagai Presiden Global Green Growth Institute (GGGI) mengatakan bahwa sama seperti pelaksanaan COP tahun-tahun sebelumnya, termasuk di Bali pada 2007 juga berjalan alot dan sempat macet (deadlock).

Namun, pada akhirnya, kata dia, tetap mengalir karena semua pihak memiliki tujuan yang sama untuk masa depan bumi.

SBY mengharapkan COP Paris akan menghasilkan kesepakatan tentang toleransi kenaikan suhu bumi untuk menghambat pemanasan global. Secara pribadi kata dia, sesuai penelitian para ahli bahwa suhu bumi ditolerir sebesar dua derajat Celcius.

"Pemanasan global akan meningkatkan muka air laut. Kalau di atas dua derajat, kasihan negara-negara kepulauan, termasuk Indonesia juga banyak pulau yang akan tenggelam," katanya.

Karena itu, ia mengharapkan para negosiator yang merupakan perwakilan dari kepala pemerintahan yang sudah menyatakan komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dapat menemukan satu kesepakatan untuk dijalankan secara bersama-sama.

Lebih lanjut SBY mengatakan bahwa ia juga mengharapkan COP Paris dapat menghasilkan satu kesepakatan terikat hukum. Namun, bila kesepakatan terikat hukum tercapai, maka para negosiator perlu merinci lebih jelas tentang sanksi.

"Kalau terikat hukum harus jelas siapa yang dihukum bila tidak menjalankan kesepakatan bersama," ujarnya.

Namun, setidak-tidaknya kata dia, ada kesepakatan yang mengikat yang dapat diterapkan melalui sistem Monitoring, Reporting and Verification atau Pengukuran Pelaporan dan Verifikasi.

Dengan sistem ini, seluruh negara maju yang berkomitmen memberikan dana bagi negara berkembang untuk membantu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus bersedia diaudit, monitor dan dievaluasi secara terbuka.

Demikian juga dengan negara-negara berkembang dan tertinggal sebagai penerima hibah atau bantuan tersebut harus bersedia diaudit mengenai penggunaan dana untuk memastikan anggaran tersebut tepat sasaran.

"Kalau sistem MRVjalan maka sebenarnya secara tidak langsung sudah mengikat meski tidak secara hukum," kata dia.

Pewarta: Helti Marini Sipayung
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015