Namanya `draft agreement` yang sudah mengerucut dari draft yang disepakati pada 5 Desember mencapai 148 halaman dan saat ini mengerucut menjadi 29 halaman,"
Paris (ANTARA News) - Utusan Khusus Presiden tentang Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar mengatakan, "Paris Agreement" atau Kesepakatan Paris mulai mengerucut meski masih memperdebatkan tiga hal mendasar.

Ketiga hal mendasar itu tentang perbedaan tanggungjawab menurunkan emisi antara negara berkembang dan negara maju, ambang batas kenaikan suhu bumi dan tentang pendanaan, kata Rachmat di sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang Perubahan Iklim atau COP ke-21 di Le Bourget, Paris, Prancis, Kamis, waktu setempat.

"Namanya draft agreement yang sudah mengerucut dari draft yang disepakati pada 5 Desember mencapai 148 halaman dan saat ini mengerucut menjadi 29 halaman," kata Rachmat di sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang Perubahan Iklim atau COP ke-21 di Le Bourget, Paris, Prancis, Kamis, waktu setempat.

Ia mengatakan bahwa draf setebal 29 halaman itu dibagi menjadi sembilan bagian yakni bagian pertama tentang defenisi (defenitions), bagian kedua yakni tujuan (purpose), bagian ketiga adalah mitigasi (mitigation), termasuk di dalamnya tentang program pengurangan emisi dari kerusakan dan degradasi hutan (REDD).

Selanjutnya bagian keempat tentang adaptasi (adaptation), bagian kelima yakni kerusakan dan kerugian (loss and damage), bagian keenam tentang pendanaan (finance), ketujuh tentang transfer teknologi (technology development and transfer) dan bagian ke delapan adalah peningkatan kapasitas (capacity-building) dan terakhir adalah transparansi (transparancy).

"Draft yang setebal 29 halaman ini akan kembali dibahas mulai pukul 15.00 waktu setempat, atau sekitar pukul 21.00 WIB dan kita harapkan tercapai kesepakatan," katanya.

Mantan Menteri Lingkungan Hidup ini mengatakan bahwa hingga saat ini perundingan masih berkutat pada perbedaan tanggungjawab dalam menurunkan emisi serta pengembangan program mitigasi dan adaptasi antara negara maju dan negara-negara berkembang.

Selanjutnya tentang peningkatan suhu bumi masih berkutat pada angka maksimal 2 derajat Celcius di mana Indonesia termasuk di dalamnya dan 1,5 derajat Celcius yang disuarakan dengan lantang oleh negara-negara kepulauan.

"Sebenarnya mengarah pada angka dua derajat Celcius tapi berupaya keras untuk menurunkan lagi di bawahnya, ini jalan tengah, karena sulit menetapkan 1,5 derajat Celcius," ucapnya.

Menurut Rachmat, bila tidak tercapai kesepakatan sebelum jadwal penutupan COP ke-21 pada Jumat (11/12), maka kemungkinan besar akan diperpanjang selama satu hari.

Sementara Ketua Institut Hijau Indonesia, Chalid Muhammad di arena KTT Iklim Paris mengatakan bahwa hal mendasar yang harus disepakati adalah ambang batas kenaikan suhu bumi.

"Sebenarnya Indonesia tidak perlu ketakukan dengan angka 1,5 derajat Celcius karena kita bukan negara maju dan tidak ada historis sebagai penyumbang emisi besar," katanya.

Pemerintah Indonesia menurut dia sudah menyampaikan kondisi tentang kebakaran hutan, sebagaimana dalam pidato Presiden Joko Widodo saat pembukaan COP ke-21 bahwa kebakaran hutan masih menjadi persoalan dan presiden juga menjelaskan strategi untuk mengatasi kebakaran tersebut.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa bila kenaikan suhu bumi mencapai 2 derajat Celcius, maka sebagian pulau di Indonesia juga akan hilang.

Tidak kalah penting menurut Mantan Direktur Walhi ini adalah menerapkan Bali Roadmap yang disepakati pada 2007 yang merupakan panduan untuk menurunkan emisi dari masing-masing negara hingga 2020.

"Seharusnya ini menjadi perhatian juga, karena berdasarkan satu studi yang merilis bahwa pada Juni 2015, kenaikan suhu bumi sudah mencapai 1,28 derajat Celcius dari masa pra-industri," katanya.

Diketahui, Kesepakatan Paris akan menggantikan Protokol Kyoto terkait kesepakatan internasional terikat hukum yang dilaksanakan pasca tahun 2020 untuk menurunkan emisi guna menghambat pemanasan global.

Pewarta: Helti Marini Sipayung
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015