Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi II DPR, Lukman Edy memberikan lima catatan apabila pemerintah menginginkan revisi Undang-Undang nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada, dan pihaknya menunggu paling lambat Februari 2016 pemerintah menyerahkan usulan revisi.

"Saya menilai paling tidak ada lima isu penting yang menurut kami perkembangan di Komisi II DPR harus dilakukan perubahan (dalam UU Pilkada)," katanya di Jakarta, Rabu.

Pertama menurut dia terkait asas efisiensi, Komisi II mendesak pemerintah memasukkan standar pembiayaan Pilkada karena tidak cukup hanya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) namun harus diatur dalam UU.

Menurut dia, kalau tidak dibuat standar pembiayaan Pikada, maka ada daerah yang euforia melaksanakan Pilkada, dikhawatirkan penggunaan dana pilkadanya terlalu besar.

"Ada yang biasanya besar sekali, itu tidak memenuhi prinsip efisiensi dalam Pilkada serentak," ujarnya.

Kedua menurut dia, partisipasi pemilih yang sekarang banyak di bawah 50 persen, harus diantisipasi UU dengan cara mengembalikan kepada pasangan calon untuk sosialisasi sehingga bukan dilakukan KPUD lagi.

Dia mengatakan, hampir semua KPUD menolak diberikan tugas memasang Alat Peraga dan Kampanye (APK), namun karena sudah diamanahkan UU terpaksa melaksanakan, akhirnya tidak efektif.

"Ini harus dikembalikan pada pasangan calon biar mereka yang memasang dan memelihara APK dengan memberikan batasan jumlahnya berapa, ukuran berapa dan tempat pemasangan dimana, itu diatur sekalian dalam UU," katanya.

Ketiga, terkait partisipasi calon, Komisi II DPR banyak menemukan calon tunggal, hanya dua calon dan melihat ada problematika soal rekruitmen calon-calon pemimpin sehingga harus dibuka lagi.

Menurut dia, tidak boleh dibatasi anggota DPR, DPRD harus mundur, PNS harus mundur, TNI harus mundur. "Itu harus dikembalikan, semua berhak mencalonkan, sehingga akan rame calon-calon dan memudahkan masyarakat memilih mana yang disukai," katanya.

"Yang dibatasi itu adalah masa kampanye saja, jadi pasangan calon siapa saja misalnya harus cuti kampanye 1 atau 2 bulan, itu yang diatur dalam UU," katanya.

Dia menjelaskan, keempat soal peradilan pemilu, semangat UU Pilkada adalah peradilan pemilu itu sementara dititipkan di MK dan di PTUN. Komisi II DPR menurut dia, menginginkan ada ketegasan pemerintah, desain peradilan pemilunya seperti apa sehingga ini harus segera dimulai.

"Kelima, posisi Panwaslu. Kami menemukan hampir di semua daerah Panwaslu tidak berdaya," ujarnya.

Dia menilai Panwaslu di lapangan sifatnya hanya merekap dan memantau, namun begitu diproses temuan-temuan, mereka sudah tidak jalan.

Lukman menilai posisi panwaslu seperti itu tidak memberikan rasa adil pada calon-calon yang merasa dirugikan karena itu harus diperkuat.

"Misalnya memulai ada peradilan awal sebelum ada persiapan periode-periode sebelumnya. Kami mendorong Bawaslu dan Panwaslu mendapat kewenangan untuk peradilan pemilu," katanya.

Menurut dia, itu harus tes dulu, peradilan tingkat pertama harus mereka yang adakan, sehingga temuan-temuan dan eksekusinya jelas ada di Panwaslu.

Karena itu menurut Lukman, tidak semua perkara harus diselesaikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) namun Panwaslu harus diberdayakan.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015