Kais, Papua Barat (ANTARA News) - Sagu merupakan satu dari empat jenis pohon yang tergambar dalam relief Palma Kehidupan di Candi Borobudur selain lontar, aren dan nyiur menurut ahli bioteknologi dan agroteknologi Nadirman Haska.

Menurut penelitiannya, sagu termasuk salah satu pohon asli Indonesia.

"Padi, jagung, singkong dan gandum, itu adalah bukan dari Indonesia, tapi dari berbagai negara pendatang. Seperti padi dari India, singkong dari Amerika dan sebagainya, hanya pohon sagu-lah yang asli Indonesia," katanya.

Relief Candi Borobudur memperkuat pendapatnya bahwa sagu sudah dikenal sejak masa kerajaan Buddha berkembang di Bumi Nusantara.

Sebelum mengenal padi, ia menuturkan, masyarakat dan raja-raja zaman kerajaan Buddha menjadikan sagu sebagai makanan pokok.

"Orang Jawa jika menyebut nasi adalah sego itu adalah sagu pada mulanya. Kemudian orang Sunda menyebut nasi sebagai sangu, itu juga awal dari sagu. Hal itu menjelaskan bahwa di tanah Jawa pun dulu juga konsumsi sagu," kata Nadirman, yang juga menjadi tenaga ahli di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Para ilmuwan menyatakan sagu bisa menjadi solusi mengatasai masalah ketahanan pangan pada akhir abad ke-21 karena turunnya masih memiliki kandungan karbohidrat yang sama, tidak banyak mengandung glukosa seperti beras, dan pembudidayaannya tidak membutuhkan lahan luas seperti padi.

"Saingan sagu hanya tapioka, tapi tapioka tidak banyak menghasilkan turunan dan kadar patinya berbeda," kata Nadirman.

Ia mengatakan Indonesia adalah penghasil sagu terbesar di dunia namun saat ini negara yang paling serius mengembangkan sagu justru Jepang.

Jepang, ia menuturkan, serius mengembangkan sagu bukan semata karena potensi karbohidratnya namun juga karena kisah heroik di balik manfaat sagu.

Ilmuan Jepang, menurut dia, pernah mengungkapkan kisah tentang prajurit Jepang yang bisa bertahan hidup dan sehat selama 35 tahun di pedalaman belantara Halmahera karena makan sagu yang tumbuh alami di sana.

"Berdasarkan kisah dan temuan fakta dari prajurit Jepang tersebut, maka diam-diam ilmuan Jepang mulai mengembangkan salah satu tanaman asli Indonesia ini, sagu. Hal tersebut saya dapat dari Prof Nagato, ilmuan Jepang," ungkapnya.


Sagu Papua

Papua tercatat memiliki 1,2 juta pohon sagu, 95 persen di antaranya tumbuh alami dan belum dimanfaatkan menurut Nadirman.

Provinsi itu berpotensi menghasilkan delapan juta ton sagu per tahun dari pohon yang tumbuh alami dan belum dimanfaatkan.

"Sagu memiliki banyak manfaat selain menjadi makanan pokok, dan delapan juta ton per tahun hilang begitu saja tanpa manfaat yang maksimal," kata Nadirman.

Ia menjelaskan dalam keadaan terendam air, apalagi air mengalir, kualitas pati sagu dapat bertahan hingga satu tahun.

Sagu-sagu yang yang tumbuh alami tanpa perawatan khusus dari manusia, menurut dia, kualitasnya sangat baik dan bisa diolah menjadi berbagai produk pangan dengan kandungan karbohidrat tinggi.

Perum Perhutani membangun pabrik pengolahan sagu modern di Kais untuk memanfaatkan potensi sagu Papua yang melimpah. Pabrik itu akan mampu menghasilkan 100 ton tepung sagu per hari.

Nadirman, yang terlibat dalam pembangunan pabrik pengolahan sagu itu, mengatakan bahwa sagu bisa menjadi pendukung upaya Indonesia mewujudkan swasembada pangan.

"Sagu tidak memerlukan lahan yang luas dan mampu tumbuh tanpa perawatan intensif, yang terpenting adalah memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, mudah dicerna," katanya.

Nadirman mengakui bahwa menjadikan sagu sebagai makanan pokok di seluruh Indonesia tidak akan mudah namun itu bukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan.

Pria yang yang sudah bertahun-tahun meneliti sagu itu mengatakan setidaknya masyarakat wilayah Indonesia timur yang sebagian sudah biasa mengonsumsi sagu bisa digerakkan untuk kembali menjadikan sagu sebagai makanan pokok.

"Tidak perlu mengirim beras miskin ke Timur, khususnya Papua, karena biaya mahal dan kualitas beras kurang bagus, lebih baik dana tersebut untuk mengembangkan sagu menjadi kualitas baik," katanya.


Pabrik Sagu

General Manager Perhutani Papua Ronald Guido Suitela menuturkan pembangunan pabrik pengolahan sagu diawali dengan penelitian dan pendekatan ke masyarakat Kais di Papua Barat tahun 2011.

"Awalnya berbagai penolakan datang dari masyarakat dengan maksud dan tujuan Perhutani mendirikan pabrik," kata Ronald.

"Mereka selalu meminta uang kepada kami, tapi kami pada dasarnya memang tidak memiliki itu, akhirnya saya menjelaskan jika meminta uang kami tidak ada, tapi jika ingin kaya bersama-sama kami bisa membantu, dengan memberi pekerjaan melalui pabrik sagu," kata dia.

Akhirnya, dengan bantuan dari tokoh adat sekitar masyarakat mendukung pembangunan pabrik dan proses pembangunan mulai dilakukan tahun 2013.

Pabrik Sagu Perhutani yang berada di Kais itu akan bisa menyerap 500 tenaga kerja lokal.

"Warga sekitar banyak yang sudah mulai bekerja, sejak mulai pembangunan pabrik 2013, dengan ini perekonomian kami terbantu," kata Kepala Lembaga Masyarakat Desa Hutan, Efradus Bandi.

Keberadaan pabrik itu, menurut dia, meningkatkan aktivitas daerah yang kebanyakan warganya mencari nafkah dengan berburu atau berdagang itu. Perahu yang melewati sungai kini bertambah banyak, kegiatan perdagangan juga makin ramai.

Pembangunan pabrik juga disertai dengan pembangunan jalan sehingga perjalanan menuju Kais dari Sorong yang sebelumnya harus ditempuh selama enam jam melalui perairan kini bisa dicapai dalam waktu sekitar tiga jam lewat jalan darat.

"Pabrik ini sudah 95 persen selesai, dan masyarakat sudah mendapatkan manfaatnya," katanya.

Pabrik seluas lima hektare yang ditargetkan bisa memproduksi 30.000 ton sagu per tahun itu mulai beroperasi 31 Desember 2015 menggunakan tenaga diesel karena belum terjangkau jaringan listrik.

Setelah pabrik beroperasi, warga Kais bisa memasok sagu ke pabrik dengan harga Rp9.000 per gelondong, tidak lagi harus menempuh perjalanan ke Pasar Sorong menggunakan perahu untuk menjual sagu mereka.

"Sebelum ada pabrik ini, masyarakat mengirim sagu ke Pasar Sorong dengan harga Rp100.000 per karungnya. Namun harga tidak konsisten dan jaraknya terlampau jauh, karena untuk pergi dan pulang bisa sampai dua minggu, apalagi bensin motor boat sangat mahal," kata Efradus.


Oleh Afut Syafril
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016