Athena (ANTARA News) - "Saya takut saya bisa mati, tapi saya harus melakukannya buat keluarga saya!" kata Omar, anak Suriah berusia 16 tahun yang terpaksa memikul beban keluarga untuk menemukan tempat aman di Eropa.

Omar adalah salah satu dari ribuan anak tanpa pendamping, pahlawan kecil yang tiba setiap hari di Yunani dari negara mereka yang tercabik perang di Timur Tengah, menyabung nyawa demi menyeberangi lautan dan berurusan dengan penyelundup manusia.

Dia melakukan perjalanan menggunakan perahu kayu selama delapan hari dari Aleksandria di Mesir menuju Pulau Crete di Yunani Selatan bersama 266 lebih pengungsi dan migran, hanya membawa bekal seperlunya untuk perjalanan sulit itu: makanan dan air.

Dengan pandangan serius dan matang di matanya, Omar berdiri di pusat penampungan yang disebut "StegiPlus" (Penampungan Plus) untuk anak kecil tanpa pendamping milik organisasi non-pemerintah PRAKSIS (Aksi) di pusat Kota Athena dan belum lama ini dan membagi kisahnya kepada kantor berita Xinhua.

Ia tiba di Yunani lima bulan lalu dari Mesir, tempat ia tinggal bersama keluarganya selama tiga setengah tahun terakhir setelah menyelamatkan diri dari mimpi buruk perang saudara di Suriah.

Kota kelahirannya, Hama, kota terbesar keempat di bagian tengah-barat Suriah, adalah salah satu ajang utama konflik bersenjata.

Rumahnya di Hama kosong dan hancur. Da tinggal di satu flat bersama orangtua, dua adik perempuan dan satu adik lelaki.

Ia belajar di sekolah umum; punya teman dan bermimpi belajar sains. Tapi semuanya kemudian berubah.

"Itu bukan kehidupan normal. Setiap malam orang meninggal. Mereka memasuki rumah kami. Kami merasa terancam," kata Omar.

Pada 2012, ayahnya memutuskan untuk membawa keluarga ke pelabuhan terbesar di Mesir, Aleksandria. Namun tanpa dokumen dan pekerjaan, satu-satunya pelarian keluarga tersebut adalah Eropa dan Omar, putra tertua, adalah orang yang harus berkorban dan melakukan perjalanan penuh bahaya.

"Saya tidak boleh takut. Ini solusi untuk menyelamatkan keluarga saya," kata Omar tanpa memperlihatkan emosi.

Ia mengakui takut pada hari terakhir sebelum perjalanannya, tapi ia harus mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk memenuhi janji, pergi duluan dan membawa keluarganya ke tempat yang lebih aman.

Sekarang ia merasa aman katanya. Ia tinggal bersama 19 anak lain yang tidak memiliki pendamping dan sedang menunggu penyelesaian prosedur penyatuan dengan keluarga yang juga memiliki kisah unik menurut Sissy Levanti, ahli sosiologi di PRAKSIS kepada Xinhua.

"Saya akan pergi untuk tinggal bersama bibi saya, saudari ibu saya yang tinggal di Nottingham, Inggris, dan keluara saya juga akan pergi, tapi tidak dengan cara yang sama yang saya tempuh," ia menegaskan.

Lantas apa impian Omar? "Hanya melanjutkan belajar di negara yang lebih aman bersama keluarga saya," katanya.

"Hal yang sulit dalam penyatuan adalah bahwa prosedurnya bisa makan waktu lama, bisa sampai delapan bulan. Di samping pemeriksaan silang dokumen, para pekerja sosial harus mengunjungi rumah anggota keluarga untuk melihat apakah kondisinya bagus bagi anak," jelas Levanti.

Awalnya Omar ingin meninggalkan penampungan dan melanjutkan perjalanannya. Tapi para pejabat dari PRAKSIS menghubungi ayahnya yang juga seorang pengacara yang memahami bahwa pilihan terbaik bagi keluarganya dan anak lelakinya adalah mengikuti jalur hukum.

Para ahli memperkirakan dari semua migran yang telah pergi ke Eropa pada 2015, sebanyak 20 persen adalah anak-anak.

Levanti menyatakan ada banyak jalur yang bisa dilalui tergantung pada keinginan masing-masing anak.

Sesuai Protokol Dublin II, mereka bisa mengaktifkan program penyatuan kembali keluarga jika orangtua atau kerabat mereka telah dilacak di negara lain Eropa.

Yang lain menyampaikan keinginan untuk pulang ke negeri mereka karena menyesal pernah memulai perjalanan ke Eropa.


Perjalanan Ilegal

Bagi Levanti tingginya persentase anak yang memutuskan meninggalkan penampungan dan melanjutkan perjalanan secara ilegal mengkhawatirkan. Ada kasus-kasus di mana anak-anak melarikan diri hanya satu jam setelah tiba di kamp.

"Khususnya sejak musim panas ada peningkatan tidak hanya di pusat penampungan kami, tapi juga di tempat lain karena longgarnya pengendalian di perbatasan," katanya kepada Xinhua.

"Mereka memberi tahu saya dengan meletakkan tangan mereka di dada, 'Saya tahu kau ingin membantu saya tapi dalam tiga hari saya akan sampai tujuan. Jadi mengapa saya harus tinggal di sini selama tiga bulan?" katanya, yang menjadi frustasi saat ingin mengubah pendirian mereka.

Tantangannya adalah membujuk mereka tinggal dan mengikuti pilihan yang aman dan legal. Jika mereka pergi, mereka akan menghadapi banyak kesulitan dan situasi membahayakan, mungkin berakhir menjadi korban perdagangan orang dan kehilangan nyawa mereka.

"Bagusnya kebanyakan anak yang pergi dari sini menghubungi kami dan mengirim pesan ketika mereka tiba dengan aman di tempat tujuan. Entah menelpon kami atau berkomunikasi dengan anak-anak di sini," tambah dia.

Levanti bersama staf "Stegi Plus" yang lain berusaha membuat anak-anak itu merasa berada di rumah.

"Kami menjadi keluarga. Kami makan bersama, berbagi pengalaman hidup, saya menghabiskan lebih banyak waktu di sini ketimbang di rumah saya. Ketika anak-anak sakit, atau butuh pendamping saat melakukan kegiatan di luar saya akan menemani," katanya.

"Stegi Plus", yang mulai beroperasi Januari 2014, adalah satu dari 18 tempat perlindungan yang menyediakan layanan kesehatan dan yang lainnya bagi anak-anak tanpa pendamping sampai mereka berusia 18 tahun di Yunani.

Selama tinggal di sana, anak-anak menjalani penyesuaian untuk mengenali ruang dan kawan-kawan mereka dan kemudian para psikolog akan mendekati mereka dan belajar lebih banyak tentang kisah mereka.

Anak-anak itu bisa sekolah, belajar dalam Bahasa Inggris, atau bahasa lain sesuai dengan negara tujuan mereka.

Mereka bisa melakukan kegiatan di dalam maupun luar ruangan serta berkomunikasi dengan keluarga mereka. (Uu.C003)

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016