... Bung Karno ingin menunjukkan Indonesia sebagai bangsa yang besar, bangsa yang ramah. Menunjukkan Indonesia bukan bangsa kerdil...
Jakarta (ANTARA News) - Sekali lagi Indonesia kehilangan senimannya yang mewariskan tinggalan-tinggalan bersejarah. Dia adalah Edhie Soenarso, yang kembali ke haribaan penciptanya di RS Jogja International, Yogyakarta, pada pukul 23.15 WIB, Senin (4/1).

Dia adalah Empu Ageng Edhi Soenarso, yang tutup usia setelah sempat sesak napas.

Siapakah Edhi Soenarso? Untuk generasi masa kini yang terlanjur akrab dengan gawai dan mal-mal, nama itu bisa jadi asing namun tidak karya-karya patungnya yang monumental dan menjadi penanda masa-masa sejarah Indonesia. 

Siapa yang tidak kenal Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, atau Patung Dirgantara alias Patung Pancoran? Juga Monumen Pembebasan Irian Barat? Semuanya memang ada di Jakarta. 

"Kita beruntung memiliki dia yang telah memberikan kontribusi besar pada kesenian, kemajuan pendidikan seni rupa, pada perjalanan ekspresi," kata pematung Indonesia, Dolorosa Sinaga, saat dihubungi www.antaranews.com, dari Jakarta, Selasa.

Menurut Sinaga, sang empu itu sosok penting karena peran besarnya yang berhasil mewujudkan pemikiran Presiden Soekarno dalam bentuk patung di ruang publik. Bung Karno memang menaruh perhatian besar pada karya-karya seni, apakah itu seni lukis, seni tari, seni patung, arsitektur, dan lain-lain. 

"Dia seniman penting yang memperlihatkan betapa besarnya peran ekspresi kesenian dalam menyampaikan visinya tentang bangsa, visi Soekarno tentang bangsa," ujar Sinaga.

"Maka, kalau banyak masyarakat terutama generasi muda tidak mengetahui siapa Edhi Soenarso, itu karena banyak faktor. Generasi muda tidak mendapat akses mengetahui dia siapa," kata dia. 

"Seharusnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memikirkan bagaimana menyampaikan produk kesenian terhadap generasi yang sedang tumbuh, lewat buku," jelas mantan dekan Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta itu.

"Kenapa mereka tidak kenal Edhi Soenarso, siapa Affandi, ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah," katanya.

Banyak negara maju di dunia juga mementingkan dan melestarikan aspek seni di ruang-ruang publik sehingga publik mudah mengakses karya-karya seni para seniman besar negara-negara itu. Ini juga visi Bung Karno, yang baru mengunjungi mancanegara setelah dia menjadi presiden pertama Indonesia. 

Kebanyakan karya patung berukuran raksasa Edhie terbuat dari perunggu, yang terkenal tahan kikisan iklim ekstrim dan minim perawatan. Bung Karno menggunakan tangan Edhi untuk mengekspresikan gagasan ideologis dan pemikirannya dalam membangun bangsa Indonesia.

Pada 1959 --sebagai petikan kisah sejarahnya-- Edhi dipanggil Soekarno. Dalam perbincangan yang santai di teras belakang Istana Merdeka, Jakarta, di mana Bung Karno berdiam bersama keluarganya, ia meminta Edhi membuat patung setinggi sembilan meter dari bahan perunggu.

"Wah langsung nderedek, karena saya tidak pernah belajar (membuat patung) dari bahan perunggu," kata Edhi dikutip dalam film dokumenter Begini lho, Ed, karya Lasja Fauzia Susatyo dan Alit Ambara, yang menceritakan tentang perjalanan panjang Edhi menjadi seniman patung.

Meskipun demikian, seniman kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, 2 Juli 1932 itu menyanggupi permintaan Bung Karno. Berkat tangan dingin Edhi, jadilah patung pertama di Indonesia yang terbuat dari perunggu. Patung tersebut dikenal sebagai Patung Selamat Datang yang terletak di tengah Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.

Patung fenomenal yang dibuat Edhi selama setahun itu berupa patung sepasang laki-laki dan perempuan Indonesia bergandengan tangan, menggenggam bunga, dan melambaikan tangan. Presiden Soekarno membangun Monumen Selamat Datang dalam rangka Asian Games IV pada 1962 yang diadakan di Jakarta. 

Sejak 1962 hingga kini, Indonesia tidak pernah lagi menjadi tuan rumah laga olahraga puncak se-Asia itu dan baru akan pada 2018 nanti. 

"Bung Karno kasih aba-aba, gini loh dek, Selamat Datang! sambil mengacungkan tangannya," kenang Edhi dalam Begini lho, Ed. Patung-patung karya Edhie sangat detil, terutama pada aspek anatomi dan ekspresi insan yang menjadi personifikasi karya-karya seninya. 

Menurut Edhi, patung itu menghadap ke utara yang berarti mereka menyambut orang-orang yang datang dari arah Monumen Nasional. "Bung Karno ingin menunjukkan Indonesia sebagai bangsa yang besar, bangsa yang ramah. Menunjukkan Indonesia bukan bangsa kerdil," tuturnya.

Saat itu, bandara internasional Indonesia baru di Kemayoran, Halim Perdanakusuma di Jakarta Timur semata-mata untuk kepentingan AURI (kini TNI AU) yang saat itu dikenal paling kuat di belahan dunia selatan. 

Puas dengan karya Edhi, Bung Karno kembali memberi tugas lagi pada Edhi untuk mengenang peristiwa pembebasan Irian Barat dengan patung yang menandakan kebebasan. Monumen Pembebasan Irian Barat itu terletak di Lapangan Banteng, Jakarta, di depan Kementerian Keuangan, yang selesai digarap Edhi pada 17 Agustus 1963.

"Rantai dipatahkan, bebas!" ujar Edhi yang memeragakan ekspresi Soekarno mengepalkan tangan seraya berteriak. Lewat tangan dingin Edhi lagi, Bung Karno menuangkan idenya untuk menghargai para pahlawan penerbangan Indonesia. 

Maka, dibuatlah Monumen Dirgantara atau lebih dikenal dengan nama Patung Pancoran, karena letaknya di bilangan Pancoran, perbatasan Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. 

Rancangan patung menampilkan keperkasaan bangsa Indonesia di bidang dirgantara. Putra-putra unggulan Indonesia sudah menguasai teknologi kedirgantaraan, di antaranya Nurtanio Pringgodigdo dan Wiweko Supomo. Ada LAPAN yang juga dilahirkan pada usia muda Republik Indonesia. 

Bahkan, AURI berdiri pada 9 April 1946, hanya sembilan bulan setelah Indonesia merdeka dan setahun lebih tua ketimbang Angkatan Udara Amerika Serikat!

Pengerjaan Patung Dirgantara sempat terhambat karena tragedi G-30-S/PKI 1965. Patung Pancoran yang terbuat dari perunggu itu mencapai 11 ton sedangkan tinggi patung adalah 11 meter. Kaki patung yang menurut Edhi menyerupai celurit mencapai 27 meter, menggapai angkasa.

Pada masa Orde Baru berkuasa, jalan layang tol penggalan Jalan Gatot Subroto, Jakarta, dibangun. Melintang begitu saja memotong kaki Patung Dirgantara, tanpa mengindahkan aspek estetika dan makna sejarah keseluruhan bangunan karya seni patung itu. 

Muskil rasanya mengembalikan nilai seni dan sejarahnya, dengan --misalnya-- menggali terowongan bawah tanah sebagai jalan tol untuk menyelamatkan nilai-nilai itu. 

Dari total biaya pembuatan sebesar Rp12 juta pada 1964, Edhi harus menanggung biaya awal dari koceknya sendiri.

"Patung selesai saat peristiwa G-30-S/PKI tetapi waktu itu belum dipasang karena saya tidak ada uang, rumah disegel karena utang bank," ungkap Edhi.

Lantas Bung Karno menjual mobil pribadinya Rp1 juta waktu itu. Sementara pemerintah hanya membayar Rp5 juta sedangkan sisanya sebesar Rp6 juta (saat itu) tidak pernah diganti pemerintah hingga Edhi tutup usia.

Seorang gerilyawan 
Sebelum dikenal sebagai seniman patung, Edhi merupakan tentara yang sudah kenyang keluar masuk penjara. Ia tercatat sebagai anggota Divisi Sambernyowo.

Saat di penjara ia menyalurkan bakat menggambarnya dan berlatih membuat patung ketika menjadi tawanan perang KNIL di Bandung antara 1946-1949.

Kemudian Edhi bertemu dengan seniman Hendra Gunawan yang memuji gambar karya Edhi. Akhirnya, Edhi yang tidak pernah mengecap pendidikan di sekolah itu masuk jalur pendidikan resmi di ASRI, Yogyakarta, lulus pada 1955 dan Kelabhawa Visva Bharati University Santiniketan, India, dan lulus pada  1957.

Dari seorang gerilyawan lalu akhirnya menjadi mahasiswa membuat Edhi sangat bersemangat untuk belajar. Siang dan malam selalu ia gunakan untuk belajar dan bekerja, dunianya semakin terbuka.

"Saya tidak pernah lulus SD tapi saya ini dosen S3," tutur dosen di Institute Seni Indonesia, Yogyakarta itu yang juga pernah dianugerahi Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma atas karya-karyanya.

Kini, sang veteran dan pematung itu telah beristirahat secara tenang setelah dimakamkan secara militer dengan segala penghormatan yang diberikan negara kepada dia. 

Jenazahnya sempat disemayamkan di Kampus ISI Yogyakarta kemudian melanjutkan ke peristirahatannya terkahir di Imogiri Bantul, berdampingan dengan sang istri, Kustiyah Edhi Soenaryo, sesuai permintaannya.

Edhi mungkin telah tiada, namun karya-karyanya masih berdiri kokoh untuk terus dikenang.

"Karya-karyanya banyak menghiasi ibukota Jakarta. Karya-karya yang langka pada zamannya, bahkan sampai saat ini. Dengan demikian dia adalah sosok penting. Ia bahkan layak mendapat penghargaan kepeloporan seni di ruang publik," kata arsitek sekaligus ahli tata kota, Marco Kusumawijaya. 

Selamat jalan empu, terima kasih atas darma baktimu untuk bangsa....

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016