Jakarta (ANTARA News) - Pemerhati pendidikan Doni Koesoema Albertus menyayangkan pemberhentian mahasiswa Universitas Negeri Jakarta terkait kegiatan aktivis dan menyebutnya sebagai pelanggaran hukum dan hak asasi manusia.

"Kita di negara hukum. Kebebasan berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat dijamin dalam Undang-Undang Dasar," kara Doni saat dihubungi Antara News.

Keputusan yang diambil rektor untuk memberhentikan Ronny Setiawan, yang berstatus sebagai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa, ini tidak tepat.

Kampus semestinya menyerap aspirasi mahasiswa dan ada proses dialog antara mahasiswa dan kampus.

Demonstrasi menjadi pilihan terakhir bila dialog tidak menemui titik temu.

"Tidak bisa main drop out," kata pengajar di Universitas Multimedia Nusantara itu.

Berdasarkan penelusuran, mahasiswa tersebut diberhentikan sebagai mahasiswa UNJ dengan pertimbangan telah melakukan perbuatan kejahatan berbasis teknologi dan penghasutan.

Menurut Doni, seseorang dianggap melanggar UU ITE bila ada putusan dari pengadilan sehingga tidak tepat bila kampus mengutip undang-undang tersebut untuk mengeluarkan mahasiswanya.

"Tidak punya kewenangan. Saya rasa memprihantinkan kalau rektor punya kebijakan seperti itu," kata dia.

Keputusan kampus juga dinilainya tidak tepat karena melanggar hak mahasiswa untuk mendapat pendidikan. Kondisinya itu harus dipulihkan.

Solusinya, pihak kampus dapat mengadakan dialog dengan mahasiswa untuk klarifikasi.

Bila sudah ada dialog dan tidak membuahkan hasil, mahasiswa dapat menempuh jalur hukum dengan membawanya ke Pengadilan Tata Usaha Negara karena kebijakan tersebut keliru dan perlu ditinjau kembali.

Atau, mereka juga dapat menempuh jalur non-hukum dengan berkoalisi dengan masyarakat sipil, lembaga maupun media massa untuk advokasi masalah tersebut.

"Bahwa hal seperti ini tidak boleh dilakukan oleh rektor se-Indonesia," kata dia.

Sebelumnya, diberitakan di media massa Ronny Setiawan diberhentikan sebagai mahasiswa UNJ melalui surat bernomor 01/SP/2016 karena mahasiswa yang bersangkutan dinilai telah melakukan tindak kejahatan berbasis teknologi dan penghasutan yang dapat mengganggu ketentraman dan Ronny dinilai telah menyampaikan surat kepada Rektor UNJ yang bernada ancaman (surat audiensi-red).

Berdasarkan siaran pers atas nama Koordinator Aliansi Mahasiswa UNJ Bersatu Ahmad Firdaus, mahasiswa FMIPA UNJ berdemonstrasi menolak rencana pemindahan fakultas tersebut dari Kampus B ke Kampus A dengan alasan fasilitas penunjang akademik dan organisasi di tempat yang baru belum memadai.

Dalam rentang waktu 24-28 Desember 2015 banyak tulisan yang bermunculan yang membuat fokus permasalahan tidak jelas.

Firdaus berinisiatif mengumpulkan tim aksi seluruh fakultas dan mitra strategis BEM UNJ untuk berdikusi merumuskan isu dan mereka pun berencana membawa isu tersebut ke focus group discussion dengan mengundang berbagai elemen mahasiswa.

Pada 29 Desember, perwakilan masing-masing fakultas memenuhi undangan dekanat fakultas dan mereka diminta untuk membatalkan diskusi yang rencananya akan dilangsungkan sore hari.

Tim aksi menilai undangan diskusi mereka diartikan sebagai rencana demonstrasi. Mereka menolak permintaan tersebut dan diskusi tetap berlangsung, dihadiri sekitar 350 mahasiswa.

Melalui perantara BEM, Aliansi Mahasiswa UNJ Bersatu mengajukan surat permohonan audiensi kepada rektorat UNJ untuk meminta penjelasan mengenai isu yang beredar di lingkungan kampus.

Pada 4 Januari 2016, Ronny Setiawan (Ketua BEM UNJ) mendapat surat panggilan yang meminta kesediaan orang tuanya untuk memenuhi panggilan rektor hari berikutnya.

Selanjutnya 5 Januari 2016, rektor secara resmi melakukan drop out kepada Ronny melalui surat 01/SP/2016 karena dinilai telah melakukan tindak kejahatan berbasis Teknologi dan Penghasutan yang dapat mengganggu ketentraman dan Ronny dinilai telah menyampaikan surat kepada Rektor UNJ yang bernada ancaman (surat audiensi).

Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016